Ramai Diperbincangkan, Pakar IPB University Tanggapi Fenomena Alam di Rancaekek, Bandung

Ramai Diperbincangkan, Pakar IPB University Tanggapi Fenomena Alam di Rancaekek, Bandung

Ramai Diperbincangkan, Pakar IPB University Tanggapi Fenomena Alam di Rancaekek, Bandung
Riset

Fenomena puting beliung telah terjadi di Rancaekek, Bandung beberapa hari lalu. Hal tersebut ramai diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia. Dosen IPB University dari Departemen Geofosika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Sonni Setiawan, menjelaskan bahwa hal ini adalah hal yang wajar terjadi di Indonesia.

Ia memaparkan, atmosfer memiliki tekanan yang sangat rendah, tempat awan konvektif suhu berkumpul. Peran angin membantu konveksi suhu dan bergerak naik ke atas. Angin yang bergerak secara vertikal akan bergerak dengan arah yang bermacam-macam dan putarannya semakin cepat sehingga menciptakan puting beliung.

“Saya rasa kejadian yang ada di Rancaekek tersebut tidak ada keterkaitan secara langsung dengan perubahan iklim, karena iklim bersifat global, sedangkan kejadian tersebut bersifat lokal dan tidak tersebar ke banyak wilayah,” tuturnya.

Ia menjelaskan bahwa pola tornado dan puting beliung memiliki kemiripan bahkan sama. “Puting beliung adalah nama lain dari twister atau tornado di bawah skala EF0. Info yang saya dapat, kasus di Rancaekek wind gust-nya (penambahan kecepatan angin) belum mencapai EF0. Berdasarkan riset terbaru, terlihat ada supercell atau mesocyclone dari atas sehingga saya setuju jika kasus ini memakai ‘istilah’ tornado,” ucap Sonni.

“Tornado sendiri diklasifikan dengan skala Fujita atau EF. Skala Fujita dimulai dari F1 sampai skala paling tinggi yakni F5. Kecepatan skala EF1 minimal adalah 150 kilometer per jam (km/jam), sedangkan fenomena tersebut hanya memiliki kecepatan 50 km/jam. Jika ada yang memandang fenomena tersebut sebagai tornado mungkin karena melihat pola angin dan tingkat kerusakan yang terjadi, “ jelasnya.

Ia mengatakan, status tornado pada fenomena di Bandung tersebut harus dipertimbangkan ulang. “Hal tersebut sebenarnya bagus karena dapat mendorong kita untuk dapat mengkaji fenomena tersebut lebih dalam,” ujarnya.

Lanjutnya, puting beliung merupakan salah satu anomali cuaca yang sifatnya merusak sehingga kita harus waspada akan hal tersebut karena lokasi kejadiannya sedikit sulit diprediksi. Namun dengan adanya awan kumulus, itu sangat potensial akan terjadinya fenomena puting beliung.

“Sudah waktunya kita sebagai orang meteorologi Indonesia membuat skala puting beliung sendiri seperti yang ada di Amerika. Sehingga hal ini menjadi kesempatan bagi para mahasiswa untuk terus belajar dan mengkaji lebih lanjut mengenai fenomena ini,” harapnya. (*/Lp)