IPB University Gelar Strategic Talks, Ramu Strategi Akselerasi Kebijakan Penurunan Stunting

IPB University Gelar Strategic Talks, Ramu Strategi Akselerasi Kebijakan Penurunan Stunting

IPB University Gelar Strategic Talks, Ramu Strategi Akselerasi Kebijakan Penurunan Stunting
Berita

Tren penurunan prevalensi stunting belum menunjukkan perubahan signifikan. Sejak diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, angka stunting di Indonesia hanya turun rata-rata 1,45 persen tiap tahunnya. Target yang harus dicapai pada tahun 2024 saja mestinya sebesar 14 persen.

Untuk merumuskan strategi penurunan stunting ke depan, IPB University melalui Direktorat Kajian Strategis dan Reputasi Akademik (DKSRA) belum lama ini menyelenggarakan The 43rd IPB Strategic Talks dengan judul “Akselerasi Kebijakan Penurunan Stunting dan Pembangunan Gizi Nasional”.

Dr Tin Herawati, Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia IPB University menjelaskan bahwa sebenarnya stunting memiliki akar penyebab yang kompleks. “Kurangnya asupan gizi pada 1.000 hari pertama kelahiran (HPK) bukanlah akar masalah stunting,” ujarnya.

Menurutnya, akar masalah stunting sebenarnya ada pada rendahnya pendidikan pasangan suami istri (pasutri), pola asuh dan pola makanan keluarga yang tidak berkualitas, pernikahan anak, serta dipengaruhi pula oleh kebijakan pemerintah atau kurangnya political will dalam mengatasi masalah stunting.

“Maka dari itu, pemerintah harus punya komitmen yang kuat untuk mengentaskan stunting. Sumber daya manusia (SDM) pelaksana program juga harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya. Pemberian dukungan anggaran serta fasilitas sarana dan prasarana kesehatan yang baik juga perlu diberikan,” katanya menjelaskan mengenai faktor pendukung keberhasilan program intervensi stunting.

Drs Seperius Edison Sipa, MSi selaku Penjabat (Pj) Bupati Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) memaparkan mengenai kondisi stunting di kabupatennya. Kabupaten TTS adalah satu wilayah Indonesia dengan angka stunting tertinggi. Pada 2023, prevalensi stunting di TTS mencapai 22,3 persen, lebih tinggi dari prevalensi nasional pada angka 21,5 persen.

Ia menjelaskan, Kabupaten TTS sudah melakukan beberapa program intervensi stunting, yakni pemberian makanan tambahan (PMT) pangan lokal, pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil dan remaja putri, dan melakukan perekrutan tenaga kesehatan untuk desa.

“Kabupaten kami juga sangat terbuka untuk peluang kerja sama riset dari perguruan tinggi mengenai permasalahan stunting agar pemerintah daerah (pemda) dapat merumuskan kebijakan yang sesuai dengan hasil riset,” imbuhnya.

Dalam kesempatan ini, Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB University, Prof Rizal Damanik menyampaikan tentang pendekatan multisektor dan multipihak dalam intervensi stunting nasional melalui program Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT). Program ini menyasar pada kelompok ibu hamil, menyusui, dan balita dari keluarga berisiko stunting.

Program tersebut perlu melibatkan berbagai aktor multisektor agar bisa berjalan optimal. Pemerintah pusat dan pemda, (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN, dinas kesehatan, dan lainnya) berperan sebagai pembina dan regulator pelaksanaan program.

Adapun peran perguruan tinggi sebagai pendamping untuk pendidikan gizi kepada masyarakat. Dunia usaha menjadi donatur dan pendamping pengelolaan usaha dan gizi. Selain itu, program ini juga membutuhkan kader penggerak masyarakat yang bertugas untuk penggerak dan motivator terlaksananya program.

Inti Wikanestri, SKM, MPA selaku Koordinator Bidang Gizi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyampaikan, pihaknya memiliki program jangka pendek dan jangka panjang untuk menurunkan angka stunting di Indonesia.

“Untuk jangka pendek terdapat intervensi spesifik berupa pemberian makan tambahan (PMT) lokal. Selain itu, ada intervensi sensitif yang berupa pemberian bantuan sosial (bansos), perbaikan sanitasi dan air minum, serta penyediaan insentif bagi para kader dan konseling gizi,” paparnya.

Sementara itu, untuk jangka panjang strateginya adalah untuk mempromosikan pola konsumsi pangan yang beragam, pengayaan zat gizi, dan jaminan gizi pada periode 1.000 hari pertama kehidupan. (NZR/Rz)