Diskusi Seri Departemen ESL: Apakah Laut Sebagai Penyerap atau Pelepas Karbon?

Diskusi Seri Departemen ESL: Apakah Laut Sebagai Penyerap atau Pelepas Karbon?

Berita

Departemen Ekonomi
Sumberdaya Alam dan Lingkungan (ESL) IPB menyelenggarakan diskusi perubahan
iklim dengan tema utama "Apakah Laut sebagai
Penyerap atau Pelepas Karbon
". Diskusi ini diawali dengan sambutan Dekan
Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB); Dr. Ir. Yusman
Syaukat, menampilkan pemateri: Dr. Ir. Alan Koropitan (Dosen Departemen Ilmu
dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB) dengan sub-judul "Role of the Indonesia Seas in the
Global Ocean's Carbon Cycle
"; Riza Damanik (Sekretaris Jenderal Koalisi
Rakyat untuk Keadilan Perikanan, KIARA)) sub temanya "Strategi Adaptasi Perikanan Tradisional dalam Menghadapi Perubahan
Iklim"
dan Agus Gunawan (Kepala Sub Divisi Adaptasi Perubahan Iklim di
sektor Pertanian dan Wilayah Pesisir) dengan sub-tema "Kesiapan dan Meningkatkan Ketahan Masyarakat Pesisir untuk Adaptasi
Perubahan Iklim
". Diskusi ini pandu langsung Ketua Departamen ESL, Dr. Ir.
Aceng Hidayat. Diskusi yang sudah menjadi agenda komunitas internasional
menarik antusiasme dari kalangan IPB mulai dari mahasiswa S1, S2, dan S3 dan
staf pengajar yang berasal dari pelbagai fakultas di lingkungan IPB.

Posisi Laut Indonesia

Dr. Alan Koropitan dalam
paparan makalahnya menyajikan secara komprehensif soal apakah laut berperan
sebagai penyerap karbon (Carbon Sink)
atau pelepas karbon (Carbon sources).
Dr. Alan menjelaskan, sebelum revolusi industri "Laut Global" memang berperan sebagai penyerap karbon. Pasca
revolusi industri laut global bukan lagi sebagai penyerap melainkan pelepas
karbon diatmosfir. Terjadi keseimbangan baru dalam siklus biogeokimia laut.
Pun, secara regional tak semuanya lautnya berperan sebagai penyerap karbon
terutama laut tropis.  Laut samudera
bagian selatan oleh para ilmuwan diyakini sebagai penyerap karbon pun kini
sudah mengalami penurunan tingkat penyerapannya. Bila memang betul Samudera
bagian selatan berperan sebagai penyerap karbon, siapa yang berhak mengklaim dan
memilikinya, tanya Alan.? Apakah ada Negara yang merasa menguasai samudera
bagian selatan hingga kini? Pasca revolusi industri nyatanya menurut Dr. Alan
peran laut global, termasuk laut samudera bagian selatan, sudah berubah menjadi
pelepas karbon. Makanya. Dr. Alan tak sepakat laut masuk dalam Carbon Development Mechanism (CDM).
Bahkan, soal terbaru "Blue Carbon" yang
merupakan proposal UNEP 2009, menurut Dr. Alan masih perlu dipertanyakan karena
masih dalam tataran wacana belum jelas bagaimana "guidance-nya" terutama mencakup metode pengukuran, kebutuhan dan
standar materialnya hingga indikatornya.

Menurut Dr. Alan,
siklus karbon global sudah mengalami keseimbangan baru. Proses perubahan ini
terjadi akibat kegiatan manusia (antropogenik) yang meningkatkan emisi CO2 di
atmosfir yang bersumber dari bahan bakar fosil, perubahan penggunaan lahan yang
menyebabkan pelepasan karbon ke atmosfir meningkat. Akibatnya, terjadi
penumpukkan karbon di atmosfir yang kemudian menurunkan peran "laut global[1]" sebagai penyerap karbon
pasca revolusi industri. Kini laut tak lagi berperan sebagai penyerap melainkan
sebagai sumber karbon.

Kesiapan Masyarakat
Menghadapi Perubahan Iklim

Pemateri
berikutnya dalam diskusi ini adalah Agus Gunawan, dari KLH menyajikan
menyajikan secara komprehensif soal bencana yang muncul di Indonesia
akhir-akhir ini dan kaitannya dengan perubahan iklim. Menurutnya, data Bappenas
dan Bakornas PB, 2006) menyebutkan bahwa periode 2003-2005 bencana yang terkait
dengan hidro meteorologi mencapai 53,3 %. Periode 2005-2007 mengutip data
Kementerian Kelautan dan perikanan menyebutkan sudah 24 pulau kecil di Indonesia
tenggelam. Masalahnya, apakah pulau itu tenggelam akibat perubahan iklim dalam
hal ini kenaikan permukaan laut? Masih belum ada penelitian yang komprehensif.
Sama halnya dengan kejadian banjir, badai, rob dan curah hujan yang tinggi,
apakah itu akibat perubahan iklim global atau kejadian iklim yang bersifat
ekstrim? Belum tentu fenomena iklim ekstrim kesemuanya digolongkan sebagai
perubahan iklim global. Dalam paparannya juga Pak Agus menyajikan hasil riset
kasus di Pulau Lombok soal kenaikan muka air laut. Hasil penelitian ini
menyajikan suatu pemodelan matematika yang memproyeksi dampak kenaikan
permukaan laut  dan luasan resiko wilayan
daratan yang terendam. Misalnya peta berikut menyajikan proyeksi tahun 2030
yang disajikan dalam gambar berikut.

Tabel 1. Proyeksi
Resiko Kenaikan Muka Laut di P. Lombok Tahun 2030

No.

Level of Risk

Area (Hektar)

1.

Low Risk

1.215,86

2.

Moderate Risk

701,9

3.

High Risk

5.258,78

4.

Extreme

7.768,67

Sumber: Gunawan (2010)

Diakhir
presentasinya Pak Agus menyajikan dua dalam menyikapi dampak perubahan iklim
yaitu mitigasi dan adaptasi. Keduanya juga harus mendapatkan dukungan
pemerintah daerah dengan cara mengintegrasikannya dalam kebijakan daerah.

Realitas Nelayan dan Iklim
Ekstrim

Pemateri ketiga,
Riza Damanik yang menyajikan strategi perikanan tradisional menyikapi dampak
perubahan iklim ini. Sebelumnya, Riza menyajikan pelbagai fakta empiris soal
kolektivitas krisis yang menyangkut krisis pangan dan iklim yang sudah menjadi
keprihatinan masyarakat dunia.

Tabel 2.
Kolektivitas Krisis di Dunia maupun di Indonesia

Krisis Pangan

Krisis Iklim

Konteks Dunia

Lebih 1 milyar warga dunia menderita kelaparan (FAO, 2009)

Pemutihan karang (coral bleaching) menurunkan
kualitas dan kuantitas sumberdaya ikan

75% produk perikanan di Asia Tenggara untuk konsumsi Amerika, Eropa,
Jepang, dan Cina

24.000 nelayan meninggal dunia di laut, yang diantaranya disebabkan
oleh cuaca ekstrem (FAO,2008)

 

Ada upaya komersialisasi perairan laut atas nama reduksi karbon melalui,
diantaranya: Coral Triangle Initiative (CTI), Blue Carbon Fund (BCF)

Konteks Indonesia

Secara nasional, impor perikanan terus tumbuh. Di tahun
2007, volume impor baru berkisar 120.000 ton. Lalu naik lebih dari 100%
menjadi  280.179,34 ton pada tahun
2008.

Periode Desember 2008 – Maret 2009: tercatat 46 orang
nelayan meninggal dunia saat menangkap ikan di laut, faktor dominan cuaca
ekstrem.

 

Keputusan untuk mengimpor cakalang, tepung ikan, ikan
patin, dan impor jenis pangan lainnya mengakibatkan keuangan negara sebesar
lebih dari Rp50 triliun tergerogoti.

Di perairan Kabupaten Tarakan, Kalimantan Timur,
nelayan hanya bisa memprediksi cuaca dan musim untuk bulan Agustus, sedang 11
bulan lainnya dalam setahun sulit untuk diprediksi.

Pada tingkat lokal: Ikan Terubuk sulit ditemukan
dipasar lokal di Kepulauan Riau; Di Wakatobi, tangkapan ikan terus menurun
dalam 5 tahun terakhir

CTI Business Summit, Januari 2010. Lebih dari 80%
perairan CTI adalah perairan Indonesia, yang terbuka di komersialkan, dan
menyempitkan ruang penghidupan nelayan.

Sumber: Damanik, 2010

Dalam kesimpulan akhir paparannya memberikan beberapa gagasan yakni:

1.   
Pentingnya mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan sumberdaya ikan,
dengan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pangan nasional secara berdikari.

2.   
Pentingnya memberikan perlindungan pada wilayah perairan tradisional, serta
pemenuhan hak-hak nelayan tradisional.

3.   
Pentingnya memaknai kegiatan perikanan sebagai sumber pangan, pengembangan
budaya nasional, dan sumber ekonomi kerakyatan.

4.   
Pentingnya memahami kegiatan perikanan secara utuh, dengan memaknai
keterlibatan perempuan nelayan di dalam kegiatan perikanan sebagai subyek yang
teramat penting.

Diakhir diskusi Ketua Departemen ESL, Dr.
Ir. Aceng Hidayat
memberikan kesimpulan akhir bahwa:

1.   
Menyikapi paparan dari tiga pemateri mengindikasikan secara kuat bahwa laut
sesungguhnya lebih berperan sebagai sumber karbon (Carbon Sources).

2.   
Proses adaptasi akan jauh lebih penting ketimbang mitigasi, terutama bagi
masyarakat pesisir yang bermukin di wilayah pesisir. Masyarakat di wilayak
pesisir memiliki daya lenting (Reseliance)
untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim sekalipun. Umpamanya,
masyarakat Bugis – Makassar yang bermukim di wilayah pesisir membangun rumah –
rumah  panggung sebagai bentuk adaptasi
mereka dengan kondisi wilayah pesisir yang dinamis.

3.   
Kebijakan perdagangan internasional maupun nasional harus memiliki
reorientasi yang lebih mengedepankan kepentingan nasional dan kedaulatan negara
sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945, khususnya dalam perdagangan
komoditas sektor perikanan dan kelautan. (Dep ESL-IPB/AH/man)


[1] Penggunaan istilah "Laut Global" karena secara
regional lautan di muka bumi ini tak semuanya menyerap karbon utamanya laut
tropis yang berada di lintang rendah.