Indonesia Bisa Terperangkap Komitmen Internasional dalam Problema Pembalakan Liar

Indonesia Bisa Terperangkap Komitmen Internasional dalam Problema Pembalakan Liar

Berita

Seorang peneliti Fakultas Kehutanan (Fahutan-IPB) menilai jika persoalan pembalakan liar dan persoalan lingkungan di Indonesia akan dikait-kaitkan dengan perspektif internasional, maka setidaknya ada tiga hal penting yang perlu disadari pecinta lingkungan , rimbawan dan pemangku kepentingan .

“Banyak pihak di Indonesia (pada semua sektor dan semua level kebijakan) yang `kurang waspada` atau bahkan dapat dikatakan `terperangkap` dalam berbagai komitmen dan konsensus internasional yang terburu-buru mereka setujui dan tanda tangani secara formal dalam kapasitas kelembagaan, dan barangkali dapat disebut sebagai `kecerobohan kelembagaan`,” kata Dr Ir Ricky Avenzora, MSc, staf pengajar Fahutan IPB di Bogor, Minggu.

Hal itu dikemukakan saat diwawancarai ANTARA, sehubungan dengan pernyataan Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban yang meminta Uni Eropa (UE) secara serius melarang negara-negara anggotanya untuk menerima kayu ilegal dari Indonesia.

“Hal ini saya tekankan, karena berdasarkan data yang kami terima, masih terdapat beberapa negara di Eropa menerima kayu ilegal dari Indonesia,” kata Menhut belum lama ini usai membuka Final Workshop “Ilegal Logging Response Center (ILRC)”, di Jakarta.

Menhut menyebutkan negara-negara harus bertanggung jawab dan berpartisipasi untuk mencegah terjadinya illegal logging itu, sehingga jangan sampai hasil industri kayu yang masuk ke negararanya tidak diketahui asal-usulnya, dan penggunaan program sertifikasi hasil kayu olahan yang masuk ke negara lain seharusnya juga dilacak asal-usul kayu tersebut.

“Sehingga semua negara bisa mencegah pasar ilegal logging yang selama ini marak terjadi,” katanya.

Program ILRC adalah proyek kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara yang tergabung dalam UE untuk menekan kegiatan penebangan liar di kawasan taman nasional.

Hingga saat ini Dephut memiliki data terakhir bahwa dari kegiatan pembalakan liar negara dirugikan setiap tahunnya Rp30 triliun dan hutan yang rusak mencapai 2,8 juta ha.

Menurut Ricky Avenzora, tiga hal penting yang perlu disadari oleh pemerhati lingkungan , rimbawan dan pemangku kepentingan terkait di Indonesia tersebut, yakni pertama, bagaimana mengantisipasi keterkaitan politik Lingkungan dengan politik perdagangan Internasional.

Kedua adalah bagaimana membangun peran positif kalangan LSM Lingkungan Indonesia agar tidak kontra-produktif dengan kepentingan bangsa dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

Yang ketiga bagaimana menggunakan dan memanfaatkan dana yang tersedia dan berbagai bantuan internasional secara sistematis, efisien, dan efektif.

Untuk butir pertama dan kedua, menurut dia, dinamika yang menarik yang bisa diamati adalah bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa dalam aspek ini banyak ketidaksiapan dan ketidakbijakan yang telah terjadi pada skala nasional.

Di satu sisi, sesungguhnya Indonesia dapat dikatakan sangat aktif berpartisipasi dalam membangun berbagai komitmen internasional yang mengaitkan aspek lingkungan dengan sektor perdagangan internasional.

Namun di sisi lain, seperti telah disampaikannya semula bahwa tampaknya banyak pihak di Indonesia, yakni pada semua sektor dan semua jenjang kebijakan yang “kurang waspada” atau bahkan dapat dikatakan “terperangkap” dalam berbagai komitmen dan konsensus internasional yang terburu-buru mereka setujui dan tanda tangani secara formal dalam kapasitas kelembagaan atau “kecerobohan kelembagaan” itu.

Dikemukakannya bahwa bila ditelusuri, “kecerobohan kelembagaan” itu terjadi karena adanya dinamika negatif pada “environment-euphoria” pada SDM dan lembaga yang terlibat dan berminat untuk ikut berkiprah pada berbagai isu lingkungan.

Meskipun eforia tersebut adalah tergolong eforia yang telah lama –karena telah muncul sejak awal 80-an–namun pada skala nasional eforia yang ada belumlah tumbuh menjadi suatu konsep pemikiran yang matang dan belum pula mengkristal menjadi suatu sistem yang mantap dan handal.

Sedangkan pada skala personal, dinamika negatif terjadi karena “tidak komprehensif” dan “kurang matangnya” keahlian yang dimiliki oleh para individu yang menyatakan diri sebagai pemerhati lingkungan .

Jika ditelusuri, akan ditemukan bahwa hal ini berawal dari belum pastinya kurikulum lingkungan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, dan berujung pada bermunculannya SDM yang menyatakan diri sebagai ahli lingkungan dengan gelar “ahli serba ahli”.

Salah satu indikator yang mudah dilihat atas fenomena ini adalah pola “just follow the issue” yang sering dilakukan para ahli di negeri ini dalam menanggapi persoalan lingkungan yang ada.

Ia melihat pada berbagai media yang ada, “hampir tidak pernah ada ahli yang membahas isu yang ada dengan pendekatan anti-tesis” dari isu yang sedang marak.

“Padahal sesungguhnya masyarakat sangat mengharapkannya untuk bisa menjadi utuh sebagai bahan pembelajaran mereka.” kata Ricky Avenzora, yang menyelesaikan S-2 dan S-3 nya di Universitas Goettingen, Jerman itu.

Kepentingan titipan

Ditambahkannya , pada lingkup institusi non pemerintah, dinamika negatif yang terjadi setidaknya dapat dilihat melalui pola “unfinished loop” (tidak memperhitungkan efek timbal balik atau “reciprocal effect” pada `loop` pertama) yang sering dilakukan oleh para “ahli serba ahli” yang menghimpun diri dan berkumpul dalam suatu institusi non pemerintah untuk menyuarakan berbagai keinginan.

“Dan kepentingan yang mereka miliki, baik `kepentingan dasar` mereka ataupun `kepentingan titipan` yang terpaksa mereka suarakan karena adanya ketergantungan dana untuk menunjang kebutuhan dasar mereka,” katanya.

Di satu sisi, dinamika tersebut dapat dikatakan sebagai karakteristik yang mudah diamati pada banyak LSM , namun di sisi lain sayangnya banyak dari mereka yang lupa menjaga titik keseimbangan, menerapkan standar ganda, radikal, dan bahkan sangat “kontra-nasional”.

Ia menekankan sesudah hampir 40 tahun berkembangnya LSM di Indonesia, mestinya bangsa ini sudah pantas untuk mempunyai banyak LSM yang matang dan bijak dalam berfikir, bertindak dan berjuang dalam mewujudkan bangsa ini kembali mempunyai negeri yang “gemah ripah loh jinawi” dan “hijau royo-royo”.

“Adalah benar bahwa bangsa ini belum cukup baik memberikan perhatian pada betapa pentingnya keberadaan LSM dalam dinamika pembangunan. Namun adalah sangat naif jika karena ketidakmatangan LSM pada akhirnya mereka ikut tergolong sebagai `penjual bangsa`,” katanya.

Pada lingkup institusi pemerintah, kata dia, fenomena “ahli serba ahli” adalah juga ikut mempunyai andil dalam terciptanya dinamika negatif, dan hal ini diperburuk oleh alih tugas yang tidak kondusif, dan kebijakan yang tak berkelanjutan yang selalu terjadi pada setiap proses pergantian pimpinan saat “alih tugas “.

“Dan, semua itu akhirnya menjadi `kecerobohan kelembagaan` di tangan seorang pimpinan yang gamang menghadapi persoalan lingkungan dengan fenomena cuci tangan serta melemparkan kesalahan pada pihak lain,” katanya.

Sementara itu, untuk butir ketiga, kata dia, dinamika yang penting untuk dicermati adalah bahwa “stepwise-process” yang dilakukan terlalu panjang rantainya sehingga tidak sistematis, tidak efisien, tidak efektif dan bahkan mubazir.

Pada hampir dua dasawarsa ini, katanya, paradigma pembangunan yang bersifat pendekatan dari atas kebawah telah dituntut untuk diubah menjadi pendekatan dari bawah ke atas .

Dalam pelaksanaannya, pola pendekatan dari atas kebawah tersebut telah dilaksanakan dengan berbagai jargon partisipasi, diantaranya yang terkenal adalah “community based”, yang salah satu cirinya adalah disebut sebagai “By Process Approach”.

Pada dasarnya “By Process Approach” tersebut sangat banyak manfaatnya, namun banyak pihak yang melupakan bahwa waktu dan dana terbatas dan penambahan persoalan berubah lebih cepat dari perjalanan waktu.

Karena itu, jika para “ahli serba ahli” tidak mau jujur memikirkan rantai proses terpendek, maka proses tersebut akan kehabisan darah sebelum tujuan tercapai, meskipun hanya untuk mencapai tujuan antara saja.

Padahal persoalan telah menjadi semakin kompleks atau bahkan berubah total dari titik awal mereka berproses.

“Jika ini dibiarkan terjadi, maka semua proses itu dapat dikatakan hanya menjadi ladang mata pencaharian saja bagi para `ahli serba ahli`,” katanya. (antara/pur/man)