Disinyalir Penggunaan Formalin pada Makanan Kembali Marak

Disinyalir Penggunaan Formalin pada Makanan Kembali Marak

Berita

Setelah mereda karena ditemukannya sejumlah bahan pengawet makanan dan minuman berbahan alami oleh sejumlah perguruan tinggi (PT) di Indonesia, penggunaan formalin pada makanan disinyalir mulai marak kembali.

Kondisi itu disampaikan oleh sejumlah usaha kecil menengah (UKM) yang melaporkan temuan-temuannya kepada Laboratrium Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB). “Akhir-akhir ini penggunaan formalin sebagai pengawet produk disinyalir marak kembali, dan UKM yang tidak menggunakan formalin merasa sangat dirugikan,” kata Dr Ir Linawati Hardjito, Ketua Departemen THP FPIK-IPB kepada wartawan di Bogor, Selasa.

Ia mengemukakan bahwa keluhan tersebut disampaikan oleh sejumlah UKM di berbagai daerah, mulai dari Jabotabek, Cilacap (Jawa Tengah) dan Jabar yang mendatangi Departemen THP FPIK-IPB. “Para UKM tersebut menginginkan adanya pengawasan dan penegakan hukum yang lebih tegas, dan saat ini para UKM sedang menunggu arahan lebih lanjut dari pihak berwenang,” katanya.

UKM yang datang ke THP FPIK-IPB membawa contoh-contoh produk yang daya awetnya cukup lama, dan ternyata aroma produk itu sangat menyengat, dan kini sedang diteliti guna mengetahui kandungan di dalamnya.

Terkait sinyalemen itu, dimana THP FPIK-IPB telah berhasil memproduksi “chitosan” sebagai pengganti formalin, sekaligus sebagai tindak lanjut kontribusi Departemen THP untuk mencari solusi penggunaan bahan pengawet alami, maka akan diselenggarakan seminar dan sarasehan nasional “chitin-chitosan”.

Seminar tersebut akan diselenggarakan Kamis (16/3) di Gedung Mahono MMA-IPB, Kampus Gunung Gede, Jl Raya Padjajaran, dengan pembicara kunci Deputi Menkop UKM dan Kepala Badan POM-RI. Disamping itu juga dihadirkan sejumlah peneliti dari BATAN, BPPT, Departemen Kelautan dan Perikanan, wakil dunia industri dan kalangan lainnya.

Bahan alami

Pada awal Januari 2006, di tengah kontroversi pemakaian formalin pada produk makanan yang dapat membahayakan kesehatan manusia, para ilmuwan dari Departemen THP FPIK-IPB berhasil menemukan bahan alami sebagai pengawet makanan.

“Departemen THP FPIK-IPB secara intensif telah melakukan riset bahan aktif untuk aplikasi produk-produk perairan guna menggantikan bahan-bahan kimia seperti formalin, klorin dan sianida. Salah satu produk tersebut adalah `chitosan`,” kata Linawati Hardjito.

Ia menjelaskan, “chitosan” merupakan produk turunan dari “polimer chitin”, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50 persen dari total berat udang.

Kadar “chitin” dalam berat udang, katanya, berkisar antara 60-70 persen dan bila diproses menjadi “chitosan” menghasilkan “yield” 15-20 persen. Chitosan mempunyai bentuk mirip dengan selulosa, dan bedanya terletak pada gugus rantai C-2.

Proses utama dalam pembuatan “chitosan” meliputi penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses kimiawi yang disebut “deproteinasi” dan “demineralisasi” yang masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam.

Selanjutnya, “chitosan” diperoleh melalui proses “deasetilasi” dengan cara memanaskan dalam larutan basa. Karakteristik fisiko-kimia “chitosan” berwarna putih dan berbentuk kristal dapat larut dalam larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Pelarut “chitosan” yang baik adalah asam asetat.

Ia mengemukakan, “chitosan” sedikit mudah larut dalam air dan mempunyai muatan positif kuat yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain serta mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun. Diungkapkan oleh Linawati bahwa Departemen THP FPKI-IPB telah melakukan uji aplikasi “chitosan” pada beberapa produk ikan asin seperti jambal roti, teri dan cumi.

Dalam uji-riset itu “chitosan” pada berbagai konsentrasi dilarutkan dalam asam asetat, kemudian ikan asin yang akan diawetkan dicelupkan beberapa saat dan ditiriskan. Beberapa indikator parameter daya awet hasil pengujian antara lain pertama pada keefektifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap, di mana pada konsentrasi “chitosan” 1,5 persen dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan.

Kedua, pada keunggulan dalam uji mutu penampakan dan rasa, dimana hasil riset menunjukkan penampakan ikan asin dengan “coating chitosan” lebih baik bila dibandingkan dengan ikan asin kontrol (tanpa formalin dan chitosan) dan ikan asin dengan formalin. “`Coating chitosan` pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih baik dibanding dengan kontrol (tanpa formalin

dan chitosan) dan perlakuan formalin pada penyimpanan minggu ke delapan,” katanya. antara/pur/man