Sebut Tiga Penyebab Bencana, Pakar IPB University: Kerusakan Akibat Manusia Mestinya Paling Bisa Dikendalikan

Sebut Tiga Penyebab Bencana, Pakar IPB University: Kerusakan Akibat Manusia Mestinya Paling Bisa Dikendalikan

sebut-tiga-penyebab-bencana-pakar-ipb-university-kerusakan-akibat-manusia-mestinya-paling-bisa-dikendalikan
Lokasi bencana alam di Sumatera Utara (viva.co.id)
Berita / Riset dan Kepakaran

Seiring meningkatnya risiko banjir dan tanah longsor di berbagai daerah, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (Fahutan) IPB University, Prof Dodik Nurrochmat menegaskan pentingnya kebijakan mitigasi berbasis riset.

Prof Dodik menjelaskan bahwa bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor merupakan fenomena yang tidak bisa ditolak (given), terutama akibat cuaca ekstrem. Namun, risiko dampaknya masih bisa ditekan melalui mitigasi yang tepat.

Tiga Penyebab Bencana
Ia membagi penyebab bencana menjadi tiga faktor utama: cuaca ekstrem, kondisi geografis, dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia.

“Yang dua faktor pertama itu kita mitigasi. Tapi yang ketiga, kita bisa kelola lewat regulasi dan tata kelola lingkungan. Kerusakan lingkungan karena manusia justru faktor yang paling bisa kita kendalikan,” tandasnya.

Ia kembali menegaskan pentingnya pemanfaatan hasil riset sebagai dasar kebijakan mitigasi bencana. Menurutnya, basis ilmiah untuk mitigasi sebenarnya telah tersedia sejak lama.

“Di IPB sudah ada disertasi tahun 2020 yang memetakan potensi banjir bandang dan longsor di Aceh Tamiang dan wilayah lainnya. Secara ilmiah, semua sudah dihitung. Curah hujan, tutupan lahan, hingga risiko longsoran,” ujar Prof Dodik.

“Persoalannya, kenapa data ini belum digunakan sebagai dasar kebijakan?” ia mempertanyakan.

Prof Dodik juga mengkritisi regulasi lingkungan yang selama ini masih bersifat umum dan belum berbasis kondisi lokal. Misalnya, terkait jarak sempadan sungai.

“Aturan jarak sempadan sungai 50–100 meter itu hanya acuan umum. Di wilayah hulu, 1–2 meter saja itu berbahaya. Tapi orang berlindung di balik regulasi yang secara ilmiah justru tidak tepat. Ke depan kebijakan harus berbasis sains, bukan hanya aturan umum,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa kebijakan lingkungan harus mengacu pada daya dukung dan daya tampung lingkungan, bukan sekadar batas administratif.

Prof Dodik juga menekankan pentingnya menggeser orientasi sanksi lingkungan dari sekadar denda besar menjadi pemulihan lingkungan yang nyata. “Denda ratusan triliun itu tidak ada artinya kalau tidak digunakan untuk memulihkan lingkungan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 jelas ada mandat pemulihan lingkungan sebagai sanksi utama,” jelasnya.

Prof Dodik berharap kejadian banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi pelajaran penting untuk perbaikan sistem mitigasi nasional.

“Bencana mungkin tidak bisa kita hindari, tapi risikonya bisa kita tekan. Dengan riset berbasis alam, early warning system, dan tata kelola yang benar, dampak bencana bisa kita kurangi,” pungkasnya. (AS)