Prof Faroby: Tanaman Kopi-Durian Jadi Kombinasi Agroforestri Terbaik untuk Kawasan Transmigrasi
Kombinasi tanaman kopi dan durian dinilai sebagai model agroforestri paling menguntungkan untuk dikembangkan di kawasan transmigrasi. Pola ini tidak hanya memberikan pendapatan lebih tinggi bagi masyarakat, tetapi juga berkontribusi besar terhadap pembangunan rendah karbon.
Hal tersebut disampaikan Prof A Faroby Falatehan, Guru Besar IPB University bidang Kebijakan Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Berkelanjutan.
Prof Faroby menyoroti persoalan yang kerap dihadapi transmigran, terutama terkait rendahnya pendapatan pada awal masa tanam. Banyak di antara mereka yang meninggalkan lokasi karena tidak sabar menunggu komoditas perkebunan seperti kopi atau durian memasuki masa produksi.
“Biasanya masyarakat itu akan menanam tanaman-tanaman yang cepat tumbuhnya, seperti hortikultura ataupun tanaman pangan. Jadi mereka bisa mendapatkan uang sekitar satu tahun,” ujarnya.
Ia mencontohkan kawasan transmigrasi di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, yang telah menjalankan model corporate farming kopi seluas 100 hektare. Namun, ketergantungan pada monokultur kopi dinilai berisiko karena fluktuasi harga dan masa tunggu panen yang panjang.
“Di lapangan, ada masyarakat yang beralih ke sawit karena merasa lebih menguntungkan dibanding kopi. Monokultur membuat pendapatan bergantung pada satu komoditas,” katanya.
Kopi-Durian: Model Terbaik
Melalui kajian analisis kelayakan finansial, Prof Faroby menunjukkan bahwa sistem agroforestri kopi-durian memiliki nilai ekonomi tertinggi. Skema ini menghasilkan net present value (NPV) sekitar Rp1 miliar dengan benefit-cost ratio (BCR) lebih dari 11 dan internal rate of return (IRR) mencapai 39 persen. Angka tersebut jauh di atas monokultur kopi yang hanya mencatat NPV sekitar Rp218 juta.
“Agroforestri memberikan pendapatan ganda, menjaga kelembapan tanah, mengurangi erosi, dan meningkatkan penyerapan karbon. Model kopi dan durian menjadi yang terbaik baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan,” tegas dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University ini.
Dari aspek lingkungan, kombinasi kopi-durian terbukti menyerap emisi karbon lebih tinggi. “Sistem agroforestri pada lahan 100 hektare mampu menyerap 9.938 ton CO₂e dalam 20 tahun. Ini mendukung target penurunan emisi nasional,” ujarnya.
Nilai pengurangan emisi ini juga berpotensi diperjualbelikan melalui voluntary carbon market (VCM), meski implementasinya membutuhkan banyak tenaga ahli dan lembaga sertifikasi.
Prof Faroby menekankan bahwa keberhasilan model agroforestri membutuhkan penguatan kelembagaan transmigrasi. Ia mengusulkan pembentukan BUMTrans dan konsorsium sebagai agregator karbon, pusat monitoring–reporting–verification (MRV) digital, serta fasilitator kemitraan nasional maupun internasional.
“Kesimpulannya, keunggulan finansial agroforestri jauh lebih tinggi dibanding monokultur. Pendekatan ini juga signifikan bagi ekonomi karbon dan keberlanjutan lingkungan,” ujarnya.
Di akhir penyampaiannya, ia menyampaikan pesan reflektif. “Ketika transmigran menanam kopi dan durian, mereka sesungguhnya sedang menanam masa depan Indonesia, masa depan yang hijau, tangguh, dan berkeadilan ekologis. Transmigrasi bukan bab lama sejarah pembangunan Indonesia, melainkan bab baru peradaban hijau bangsa.” (Fj)

