Pakar IPB University: Krisis Ekologis Jawa Barat Tak Bisa Disamaratakan
Tekanan pembangunan yang semakin masif menjadikan kondisi ekologis Jawa Barat (Jabar) kian kompleks. Pakar Ekologi Politik IPB University, Prof Arya Hadi Dharmawan, menegaskan bahwa krisis ekologis di Jabar tidak dapat dipandang secara seragam, melainkan harus dipahami berdasarkan karakteristik ekosistem masing-masing wilayah.
“Untuk memahami kondisi Jabar, kita harus melihatnya berdasarkan karakteristik ekosistem. Krisis ekologis yang terjadi berbeda-beda antara wilayah utara, tengah, selatan, barat, dan timur,” ujar Prof Arya dalam diskusi Ruang Publik di TVRI, 29/12.
Ia menjelaskan, wilayah Jabar bagian utara menghadapi tekanan paling tinggi akibat alih fungsi lahan. Kawasan ini menjadi arena tarik-menarik antara pembangunan infrastruktur, industri, dan sektor pertanian, yang diperparah oleh ancaman abrasi laut serta penurunan muka tanah.
“Alih fungsi lahan di wilayah utara mencapai sekitar 2.000 hektare per tahun untuk jalan tol, kawasan industri, hingga pusat perbelanjaan. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi Jabar,” tegasnya.
Sementara itu, wilayah tengah, khususnya Bandung Raya, mengalami perubahan ekologi yang sangat signifikan. Prof Arya menyebut Cekungan Bandung mengalami deforestasi di wilayah hulu dan penumpukan permukiman yang semakin padat di kawasan hilir.
“Deforestasi di wilayah hulu dan penumpukan penduduk di cekungan memperbesar risiko banjir sekaligus mempercepat degradasi lingkungan,” jelasnya.
Di wilayah selatan Jabar, krisis ekologis juga tak kalah serius, terutama di kawasan daerah aliran sungai (DAS). Prof Arya mencontohkan kondisi DAS Citanduy yang membentang dari Gunung Sawal hingga pesisir selatan Jawa Barat.
“Pengalaman kami mendampingi pemulihan DAS Citanduy menunjukkan krisis yang luar biasa, mulai dari hulu hingga ke hilir,” ungkapnya.
Adapun wilayah barat Jabar yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta menghadapi tekanan kependudukan yang sangat tinggi. Dengan jumlah penduduk Jabar yang kini mencapai sekitar 50 juta jiwa, kawasan Bogor, Depok, dan Bekasi (Bodebek) menjadi wilayah dengan tingkat kepadatan ekstrem.
“Dampaknya bukan hanya pada aspek ekologis, tetapi juga merambah ke persoalan sosial, seperti konflik lahan, meningkatnya kriminalitas, hingga konflik sosial,” ujar Prof Arya.
Selain itu, ia menyoroti kondisi sejumlah DAS utama di Jabar, seperti Citarum, Ciliwung, Cisadane, dan Cimanuk, yang mengalami pencemaran berat dan sedimentasi. “Risikonya jelas, banjir di wilayah hilir dan kekeringan di wilayah hulu,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Prof Arya menekankan pentingnya penyelarasan data ekologis lintas wilayah dan lintas lembaga. Ketidaksinkronan data, menurutnya, berpotensi melahirkan kebijakan yang keliru.
“Data yang tidak presisi akan menghasilkan kebijakan yang tidak presisi pula. Inilah yang kami sebut sebagai policy blindness atau kebijakan yang buta,” tegasnya.
Ia mendorong penerapan kebijakan satu peta dan satu data nasional agar pemerintah pusat dan daerah dapat membaca fakta ekologis pada halaman yang sama. “Presiden perlu memimpin langsung penyelarasan data lintas kementerian dan lintas provinsi. Ini tidak bisa diselesaikan oleh satu daerah saja,” pungkasnya.
Prof Arya berharap, langkah tersebut dapat menjadi pijakan penting bagi pemerintah daerah dalam menyeimbangkan pembangunan dan keberlanjutan ekosistem, sehingga risiko krisis ekologis yang lebih parah di masa depan dapat dicegah. (AS)
