Guru Besar Binformatika IPB University Ciptakan iPrimeTarget, Percepat Penemuan Obat Herbal Indonesia
Guru Besar Bioinformatika IPB University, Prof Wisnu Ananta Kusuma berhasil menciptakan terobosan penting dalam riset bioinformatika Indonesia. Ia dan tim IPB University mengembangkan iPrimeTarget, sebuah platform berbasis web dengan algoritma komputasi baru disassembly greedy modularity.
Melalui algoritma dan platform iPrimeTarget, peneliti kini dapat mengidentifikasi kelompok protein penting, memahami fungsi biologis, hingga melakukan analisis berbasis network pharmacology dan unsupervised machine learning dengan memanfaatkan artificial intelligence (AI).
“Teknologi ini membuka peluang percepatan penemuan obat herbal modern multikomponen khas Indonesia, termasuk dalam tahap pemetaan target molekuler,” saat forum AI for Drug Innovation 2026 Outlook, belum lama ini.
Terobosan ini juga telah dipublikasikan di Nature Scientific Reports. Ia berharap penemuannya dapat menjadi terobosan pengembangan obat herbal di Indonesia, terutama dalam mengoptimalkan bahan alam sebagai dasar terapi modern.
“Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas yang sangat besar. Namun, pemanfaatan obat herbal yang berhasil mencapai tahap validasi BPOM masih terbatas pada sekitar 25 produk fitofarmaka,” sebut Prof Wisnu menerangkan latar belakang penelitiannya.
Prof Wisnu memaparkan bagaimana kompleksitas bahan alam Indonesia membutuhkan dukungan AI agar proses penelusuran senyawa menjadi lebih cepat dan efisien.
“AI mampu membantu decoding kompleksitas herbal dan mempersempit ruang pencarian target sehingga proses penemuan obat menjadi lebih efisien,” jelasnya.
Meski AI menawarkan peluang besar, Prof Wisnu menegaskan bahwa teknologi tidak menggantikan proses ilmiah. “AI berperan sebagai pemangkas waktu riset, validasi laboratorium basah tetap menjadi pilar utama dalam pengembangan obat,” ungkapnya.
Ia juga menyampaikan bahwa tantangan terbesar bukan hanya pada teknologi, tetapi kesiapan ekosistem, mulai dari ketersediaan data, infrastruktur komputasi, hingga dukungan kebijakan.
Dalam forum yang sama, hadir pula Edwin Simjaya (Head of AI and Software, Private Pharmaceutical Company), Rizman Abudaeri (Director of Market Access and Regulatory Affairs, Multinational Pharma), serta Dr Sarunya Adirekthaworn (Chulalongkorn University). Para panelis menyepakati bahwa Indonesia dan Thailand berada pada fase awal adopsi AI di bidang farmasi, sehingga kolaborasi lintas institusi menjadi kunci percepatan inovasi.
Terobosan ini diharapkan membuka jalan bagi kemandirian riset farmasi Indonesia serta memperkuat posisi bangsa dalam inovasi kesehatan berbasis AI di kawasan Asia Tenggara. (Ez)

