Asia Terancam Krisis Pangan akibat Depopulasi: IPB dan Kyoto University Serukan Kolaborasi
Asia menghadapi ancaman baru. Percepatan penuaan penduduk berpotensi mengguncang sektor pertanian sebagai tulang punggung produksi pangan. Isu ini menjadi fokus utama para akademisi dan peneliti yang menghadiri Simposium Internasional Kyoto University 2025 di IPB University, Bogor.
Dalam paparannya, Prof Izuru Saizen, Vice Dean Graduate School of Global Environmental Studies (GSGES) Kyoto University, memaparkan hasil risetnya bahwa negara-negara di kawasan Asia Tenggara tengah mengalami penurunan angka kelahiran dan peningkatan jumlah penduduk lanjut usia.
“Dengan persiapan yang tidak memadai, muncul kekhawatiran mengenai perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan beban fiskal,” ujarnya.
Sebagai contoh, Thailand. Struktur piramida penduduknya kini berbentuk “botol” akibat menurunnya populasi muda. Di Vietnam, populasi usia >65 tahun telah mencapai 8,6 persen dan diproyeksikan terus meningkat hingga dua kali lipat.
Bagaimana dengan Indonesia? Trennya pun serupa. Angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR) terus menurun. Pada tahun 2024, TFR Indonesia tercatat 2,11. Mengikuti Jepang, Singapura, Thailand, Malaysia, Brunei sudah lama di bawah 2,1.
“Kita perlu melakukan penelitian kolaboratif lintas negara untuk mempersiapkan era penyusutan populasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keberlanjutan pertanian di kawasan perdesaan sangat penting karena wilayah ini merupakan pusat produksi pangan di seluruh negara Asia,” paparnya.
Perwakilan Kyoto University ASEAN Center, Prof Eiji Nawata memaparkan perkembangan produksi beras di Asia Tenggara selama empat dekade terakhir. Peningkatan produksi tertinggi dicatat Thailand (17%), disusul Kamboja (6,3%), Laos (3,5%), Vietnam (3%), Filipina (2,7%), Indonesia (1,5%), dan Malaysia (1,2%).
Ia juga menyoroti isu-isu kunci bagi ilmu pertanian masa depan, seperti adaptasi teknis terhadap pemanasan global, pengembangan varietas, sistem pertanian baru, teknologi hemat energi, biologi molekuler dan mikrobiologi, pertanian cerdas berbasis artificial intelligence (AI), pembangunan pedesaan, serta perbaikan lingkungan global berkelanjutan.
Sementara itu, Wakil Rektor IPB University bidang Riset, Inovasi, dan Pengembangan Agromaritim, Prof Ernan Rustiadi, menyambut delegasi tiap negara dengan mengenalkan berbagai inovasi, fasilitas, dan program IPB University yang mendukung pembangunan berkelanjutan.
“IPB University berfungsi sebagai model integrasi pendidikan, penelitian, dan inovasi yang relevan dengan pembangunan berkelanjutan,” jelasnya.
Kerja sama dengan Kyoto University selama ini telah berlangsung sejak lama. Ke depan, ia berkomitmen memperluas kolaborasi, termasuk penguatan riset bersama dan pengembangan program double degree.
Simposium ini diharapkan dapat memperkuat jaringan penelitian Asia serta membuka peluang kolaborasi baru untuk menghadapi tantangan demografi dan pertanian di masa depan. (dh)

