Akademisi IPB University: Etika dan Empati Kunci Komunikasi Publik di Era Attention Economy

Akademisi IPB University: Etika dan Empati Kunci Komunikasi Publik di Era Attention Economy

akademisi-ipb-university-etika-dan-empati-kunci-komunikasi-publik-di-era-attention-economy
Berita

Saat arus informasi kian deras dan ruang publik makin riuh, etika dan empati merupakan kunci utama komunikasi publik. Penegasan ini disampaikan Direktur Kerjasama, Komunikasi, dan Pemasaran IPB University, Dr Alfian Helmi.

Di era attention economy, pesan, opini, dan narasi dari berbagai arah saling berebut perhatian. Banjir informasi kerap mengaburkan substansi pesan dan menggerus kepercayaan publik. Kondisi tersebut, kata Dr Helmi, menuntut perubahan mendasar dalam cara institusi dan pejabat publik berkomunikasi dengan masyarakat.

“Bukan sekadar apa yang disampaikan, melainkan bagaimana pesan itu disampaikan dengan empati, kejujuran, dan keberpihakan pada kepentingan publik,” ujar dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB University ini saat menghadiri Konvensi Humas Indonesia (KHI) 2025 di Surabaya (14/12).

Ia menegaskan, perubahan lanskap media membuat komunikasi publik tidak lagi efektif jika dilakukan secara satu arah. Atensi publik yang semakin pendek, konsumsi informasi yang semakin emosional, serta tingginya kompetisi pesan di ruang digital menuntut pendekatan komunikasi yang lebih manusiawi dan relevan.

Sebagai contoh, pernyataan sejumlah pejabat publik saat menanggapi berbagai peristiwa bencana belakangan ini, justru menuai kritik karena dinilai kurang empatik dan terlalu administratif. Menurutnya, kegagalan memahami perspektif masyarakat terdampak dapat memicu krisis kepercayaan yang lebih besar.

“Dalam konteks bencana, komunikasi itu tidak bisa dilihat dari kacamata pemerintah semata. Apa yang sudah dilakukan atau berapa anggaran yang dikeluarkan. Yang lebih penting adalah kacamata korban, apakah mereka sudah terbantu dan apa dampak nyata yang dirasakan masyarakat,” ujar Alfian.

Ia menekankan bahwa empati harus menjadi pesan pertama dalam setiap komunikasi krisis. Tanpa empati, pesan sebaik apa pun akan kehilangan makna. Karena itu, ia menilai perlu adanya dua lapis komunikasi yang berjalan beriringan, yakni komunikasi risiko sebelum masalah muncul dan komunikasi krisis setelah kejadian.

“Keduanya harus saling melengkapi agar komunikasi publik tidak justru menjadi sumber masalah baru,” katanya.

Dalam konteks tersebut, ia memandang penting pemutakhiran Kode Etik Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) yang diresmikan dalam KHI 2025.

Ia menilai, kode etik ini bisa menjadi kompas moral bagi insan humas dalam menghadapi tantangan komunikasi yang semakin kompleks, mulai dari krisis bencana, isu kesehatan masyarakat, hingga disrupsi media digital.

“Kode etik ini penting karena di dalamnya tertanam prinsip kebenaran, transparansi, akurasi, tanggung jawab, serta keberpihakan pada kepentingan publik. Ke depan, standar etik ini diharapkan menjadi rujukan nasional dan diterapkan luas di dunia profesional kehumasan,” tegasnya. (dr)