Sudah Waktunya Daging Anjing dan Kucing Dilarang di Indonesia
Kekhawatiran akan dampak perdagangan, peredaran, dan konsumsi daging anjing dan kucing terhadap kesehatan manusia, mendorong pelarangan dan regulasi di berbagai daerah. Seperti halnya upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta baru-baru ini untuk melarang perdagangan daging anjing dan kucing untuk mencegah rabies dan melindungi kesehatan masyarakat.
Rencana pelarangan perdagangan dan konsumsi daging anjing dan kucing oleh Pemprov DKI Jakarta walaupun terlambat dinilai merupakan langkah maju. Diharapkan langkah ini menjadi cikal bakal pelarangan total konsumsi dan perdagangannya di Indonesia.
Sejarah Panjang
Mengonsumsi daging anjing dan kucing sudah ribuan tahun dilakukan sebagai bagian dari tradisi. Sebagai contoh di beberapa wilayah Asia, anjing secara historis dikonsumsi karena dianggap memiliki manfaat medis atau sebagai bagian dari ritual musiman. Jika dibandingkan dengan daging anjing, mengonsumsi daging kucing kurang umum, tetapi masih dilakukan di beberapa wilayah dan masyarakat tertentu.
Jika ditinjau dari lini waktu, konsumsi daging anjing dan kucing memang telah berakar sejak lama sebagai bagian dari budaya di masyarakat di berbagai negara. Namun, seiring dengan berjalannya waktu semakin banyak penentangan karena ditinjau dari sisi pergeseran etika, kesehatan, dan budaya dinilai kontroversial karena itu konsumsinya semakin menurun.
Tiongkok dan Vietnam memiliki sejarah panjang mengonsumsi daging anjing, yang terkait dengan festival atau kepercayaan tradisional. Sebagai contoh, Festival Daging Anjing Yulin di Tiongkok dimulai tahun 2000 yang didasari oleh tradisi lama yang berakar di negara Tirai Bambu ini.
Negara lain yang juga mempraktikkan memakan daging anjing adalah Korea Selatan. Daging anjing (catatan: disebut bosintang) secara tradisional dikonsumsi selama musim panas untuk tujuan meningkatkan stamina. Namun, popularitasnya telah menurun secara tajam utamanya di kalangan muda. Karena itu, diprediksi dalam kurun waktu 10–15 tahun ke depan tradisi ini akan menghilang dengan sendirinya karena tidak ada generasi penerus.
Di beberapa wilayah di Afrika, daging anjing juga umum dikonsumsi sebagai bagian dari adat istiadat setempat dan karena alasan kebutuhan ekonomi. Sebaliknya, kebiasaan mengonsumsi daging anjing dan kucing di Eropa dan Amerika jarang terjadi. Kalaupun ada dalam catatan sejarah, sebagian besar dikaitkan dengan kondisi perang atau kelaparan.
Di Amerika, status hukum mengonsumsi daging anjing dikategorikan sebagai tindakan legal yang bermakna tidak secara eksplisit dilarang, tetapi transportasi dan penjualannya dilarang. Di negara ini, aturan yang berlaku memiliki pengecualian untuk upacara penduduk asli Amerika.
Skala Komsumsi
Berdasarkan berbagai catatan yang ada, pada saat ini diperkirakan ada sekitar 30 juta anjing dan jutaan kucing dibantai setiap tahunnya untuk diambil dagingnya di seluruh dunia. Namun seiring dengan berjalannya waktu, angka ini diperkirakan semakin menurun karena adanya gerakan penolakan publik yang makin meningkat, terutama di kawasan Asia.
Sebagai contoh di Korea Selatan, generasi muda semakin menolak daging anjing, dan pemerintah sedang mempertimbangkan melakukan larangan penuh. Di Indonesia para aktivis dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta mendorong larangan mengonsumsi dan memperdagangkan daging anjing dan kucing. Baru-baru ini, DPRD DKI Jakarta juga mendukung peraturan gubernur untuk melarang distribusi daging anjing dan kucing.
Benarkah Lebih Berkhasiat?
Dari sisi nilai nutrisi, tidak ada bukti daging anjing dan daging lebih berkhasiat dibandingkan daging sapi. Daging sapi secara gizi bahkan lebih unggul daripada daging anjing dan kucing dalam hal kualitas protein, komposisi lemak, dan kepadatan mikronutrien. Sementara daging anjing dan kucing sebanding dalam makronutrien dasar, tetapi informasinya kurang banyak didokumentasikan karena kontroversial secara etika.
Dari sisi kandungan lemak, daging sapi mengandung lebih sedikit lemak jika dibandingkan daging anjing. Karena itu, daging sapi lebih sehat dibanding daging anjing. Di samping itu, dari sisi zat besi, vitamin B, dan kandungan omega 3, daging juga sapi lebih unggul dari daging anjing dan kucing. Daging sapi juga memiliki daya cerna yang lebih tinggi dibandingkan keduanya.
Masalah Kesehatan
Dari sisi kesehatan, peredaran dan konsumsi daging anjing dan kucing sangat berisiko terhadap penyebaran zoonosis seperti rabies. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pasar hewan dikaitkan dengan penyebaran berbagai penyakit lainnya, termasuk COVID-19.
Penyakit rabies atau yang sering dikenal oleh masyarakat sebagai penyakit anjing gila ini sudah sering mewabah di berbagai wilayah Indonesia dan memakan korban jiwa. Rabies merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus-virus yang ditularkan melalui gigitan atau kontak dengan hewan yang terinfeksi. Perdagangan anjing dan kucing hidup maupun dagingnya berperan besar dalam meningkatkan resiko penyebaran penyakit rabies ini.
Di samping rabies, penanganan daging anjing dan kucing yang tidak baik akan meningkatkan kejadian infeksi bakteri seperti Salmonella dan E. coli, serta infeksi parasit lainnya yang juga dapat mewabah.
Keberadaan pasar hewan informal ataupun ilegal yang biasanya memiliki kebersihan dan sanitasi yang tidak memadai dan luput dari pengawas veteriner juga berperan dalam peningkatan resiko penyebaran zoonosis.
Pasar hewan hidup yang menjual anjing dan kucing bersama spesies lain turut menciptakan lingkungan yang kondusif bagi munculnya patogen zoonosis baru, serupa dengan wabah seperti COVID-19.
Dampak ekonomi dari terjadinya wabah penyakit yang ditimbulkan oleh anjing dan kucing seperti rabies tentu saja tidak dapat diabaikan karena akan mengancam mata pencaharian masyarakat.
Angin Segar
Berbagai negara di Asia seperti Taiwan, Hongkong, Thailand, dan India yang tadinya memiliki tradisi mengonsumsi daging anjing dan kucing kini telah melakukan pelarangan total. Sementara di Tiongkok, Vietnam, beberapa negara di Afrika, dan sebagian wilayah di Indonesia, praktik memperdagangkan daging anjing dan kucing ini masih berlangsung meskipun di bawah pengawasan yang semakin ketat.
Perubahan pandangan terkait konsumsi daging anjing dan kucing ini tentunya tidak lepas dari anggapan bahwa kedua hewan ini sudah dianggap sebagai companion animals atau teman dan bukan sebagai ternak untuk dikonsumsi. Berbagai tradisi yang tadinya melakukan praktik konsumsi daging anjing dan kucing pun berangsur-angsur sudah mulai meninggalkan kebiasaan ini.
Di samping pergeseran pandangan ini, berbagai kampanye yang dilakukan oleh para aktivis pencinta hewan kesayangan dan juga pendidikan terkait sisi etik, dampak negatif, dan sisi budaya dari daging anjing dan kucing ini sudah semakin meningkat di berbagai negara termasuk Indonesia.
Di Indonesia, kampanye seperti Dog Meat Free Indonesia (DMFI) dan kegiatan organisasi nirlaba internasional lainnya gencar dilakukan. Langkah ini guna meningkatkan kesadaran dan mendesak pemerintah untuk bertindak melakukan pelarangan terhadap peredaran dan konsumsi daging anjing dan kucing.
Di sisi lain, pelarangan perdagangan daging anjing dan kucing di Indonesia yang sering kali melibatkan pencurian dan pelibatan hewan peliharaan dan hewan liar tentu akan berdampak pada mata pencaharian sebagian masyarakat. Namun, mengingat skalanya tidak masif, mereka yang terdampak dapat dicarikan solusinya oleh pemerintah untuk mengalihkan mata pencaharian lain yang lebih umum.
Angin segar yang dimulai dari pelarangan peredaran dan konsumsi daging anjing dan kucing di wilayah DKI Jakarta, diharapkan akan diikuti oleh peraturan di tingkat nasional.
Budaya dan tradisi yang merupakan warisan nenek moyang sekaligus merupakan identitas suatu masyarakat yang baik tentunya harus dipertahankan dan diwariskan. Namun, dalam dalam hal peredaran dan perdagangan daging anjing dan kucing sebaiknya segera dihentikan karena efek negatifnya jauh lebih banyak dari efek positifnya.
Oleh: Prof Ronny Rachman Noor
Guru Besar bidang Genetika dan Pemuliaan Ternak
Fakultas Peternakan IPB
