Srikandi of the Sea: Saat Para Mahasiswi IPB University Jadi Garda Terdepan Konservasi Laut
Sekelompok mahasiswi IPB University yang tergabung dalam Perkumpulan Mahasiswa Pencinta Alam (Lawalata) menjalankan ekspedisi bertajuk Srikandi of the Sea di kawasan Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra, Nusa Tenggara Barat.
Ketua tim, Riri Indriani, menjelaskan bahwa Srikandi of the Sea merupakan ekspedisi putri pertama yang digagas oleh Lawalata IPB University. Berlangsung pada 5–20 Agustus 2025, ekspedisi menyoroti peran penting perempuan pesisir dalam menjaga kelestarian laut dan menemukan berbagai persoalan sosial-ekologi di kawasan wisata bahari tersebut.
“Kami ingin menunjukkan bahwa pelestarian ekosistem laut bukan hanya tanggung jawab laki-laki. Perempuan memiliki peran yang sama penting dalam menjaga keberlanjutan terumbu karang dan laut,” ucap Riri, ketua tim ekspedisi saat diwawancara (8/10).
Dari hasil observasi lapangan, tim ekspedisi menemukan bahwa kondisi terumbu karang di kawasan Gili Matra mengalami kerusakan cukup parah. Di sepanjang garis pantai banyak dijumpai karang mati, terutama di area padat aktivitas wisata.
“Sebagian besar karang di kawasan itu telah rusak. Penyebabnya antara lain pengelolaan sampah yang belum optimal, perilaku wisatawan yang menginjak karang, serta aktivitas jangkar kapal yang merusak dasar laut,” jelas Riri.
Selain faktor sosial dan perilaku wisatawan, tim juga menemukan indikasi pencemaran laut akibat aktivitas industri. Berdasarkan keterangan warga, terdapat perusahaan penyulingan air yang diduga masih beroperasi dan membuang limbah ke laut, meskipun izin usahanya telah berakhir sejak 2022.
“Endapan limbah tersebut diyakini mempercepat kerusakan ekosistem karang di sekitar kawasan konservasi,” ungkapnya.
Peran Srikandi untuk Konservasi
Salah satu temuan penting ekspedisi ini ialah keberadaan komunitas perempuan pesisir lokal yang aktif menjaga laut. Kelompok ini dikenal sebagai Srikandi, yang fokus pada restorasi terumbu karang, edukasi wisatawan, dan aksi bersih pantai.
“Mereka menjadi contoh nyata bahwa perempuan bisa berkontribusi langsung dalam pelestarian laut. Komunitas Srikandi rutin menanam karang dan melibatkan anak muda dalam kegiatan bersih pantai,” ungkap Riri.
Selain itu, komunitas Coral Catch di Gili Air juga menjalankan program penanaman karang tahunan dan beasiswa konservasi berbasis pendanaan swasta, memperlihatkan bagaimana pemberdayaan perempuan berperan nyata bagi keberlanjutan ekosistem.
Hasil analisis sosial tim menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam konservasi laut di Gili Matra masih menghadapi sejumlah tantangan struktural dan kultural. Akses informasi, peluang pelatihan, serta dukungan kebijakan yang responsif gender masih terbatas.
Selain itu, stereotipe peran gender dalam masyarakat pesisir turut membatasi keterlibatan perempuan secara formal dalam pengelolaan kawasan konservasi.
“Perempuan memiliki kedekatan emosional dan sosial dengan lingkungannya. Ketika mereka dilibatkan, konservasi menjadi gerakan bersama, bukan hanya proyek sementara,” tegas Riri.
Rekomendasi Kebijakan
Dalam pelaksanaan ekspedisi ini, Lawalata IPB University berkolaborasi dengan Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, lembaga yang berwenang mengelola kawasan konservasi Gili Matra.
Berdasarkan temuan di lapangan, tim ekspedisi juga menyusun rekomendasi berbasis riset sosial kepada BKKPN Kupang dan para pemangku kepentingan lainnya. Rekomendasi ini diharapkan dapat memperkuat program konservasi laut yang lebih inklusif dan berperspektif gender.
Melalui Srikandi of the Sea, Lawalata IPB University menegaskan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan kunci keberhasilan konservasi laut berkelanjutan.
“Keterlibatan perempuan tidak hanya memperkuat dimensi sosial masyarakat pesisir, tetapi juga menjadi strategi efektif untuk menjaga ekosistem laut dari ancaman kerusakan,” pungkasnya.

