Ekspedisi “Aswara Ohoidertutu” Lawalata IPB University Teliti Harmoni Adat dan Konservasi Penyu Belimbing

Ekspedisi “Aswara Ohoidertutu” Lawalata IPB University Teliti Harmoni Adat dan Konservasi Penyu Belimbing

ekspedisi-aswara-ohoidertutu-lawalata-ipb-university-teliti-harmoni-adat-dan-konservasi-penyu-belimbing
Berita / Student Insight

Lawalata IPB University kembali menegaskan komitmennya terhadap konservasi laut dan kearifan lokal melalui Ekspedisi Aswara Ohoidertutu di Kepulauan Kei Kecil Barat, Maluku Tenggara. Kegiatan yang berlangsung selama Agustus 2025 ini berfokus pada pelestarian penyu belimbing (Dermochelys coriacea), spesies penyu terbesar di dunia yang kini berstatus terancam punah.

Ketua tim ekspedisi, Faris Makarim menjelaskan bahwa nama Aswara Ohoidertutu memiliki makna mendalam. Aswara berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti keindahan tersembunyi, sedangkan Ohoidertutu dari bahasa Kei berarti desa di ujung.

“Makna itu sejalan dengan misi kami, menggali keindahan yang tersembunyi, baik dari alam maupun dari budaya masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan penyu belimbing,” ujar Faris.

Ia menjabarkan, penyu belimbing sebagai fokus utama ekspedisi bukan tanpa alasan. Spesies ini telah ada sejak jutaan tahun lalu dan menjadi salah satu simbol penting ekosistem laut tropis Indonesia. Namun, populasinya terus menurun akibat perburuan, pencemaran, dan kerusakan habitat.

“Dari enam jenis penyu yang ada di Indonesia, semuanya dilindungi. Penyu belimbing dipilih karena keunikannya, ukurannya paling besar, perilakunya khas, dan secara ekologis sangat penting,” jelas Faris.

Menurutnya, pemilihan lokasi Ohoidertutu didasari oleh dua hal: potensi ekologis dan nilai budaya. Wilayah ini merupakan jalur migrasi penyu belimbing yang penting, sekaligus memiliki tradisi adat Tabob, yaitu ritual yang menganggap penyu sebagai simbol leluhur dan kemenangan perang.

“Hubungan masyarakat Kei dengan penyu sudah berlangsung sejak lama. Tabob bukan hanya tradisi, tapi juga cerminan rasa hormat terhadap alam,” imbuhnya.

Antara Tradisi dan Pelestarian
Kendati berstatus dilindungi, masyarakat adat Kei masih melakukan perburuan penyu dalam konteks upacara adat. Hal ini menjadi dilema antara pelestarian satwa dan penghormatan terhadap budaya.

Sebagai pencinta alam, Faris menilai bahwa pendekatan terhadap masyarakat adat tidak bisa dilakukan secara represif. “Masyarakat adat memiliki sistem nilai yang sudah ada jauh sebelum regulasi konservasi lahir. Jadi pendekatannya bukan melarang, tapi mengedukasi dan mencari jalan tengah,” ujarnya.

Melalui ekspedisi ini, tim Lawalata IPB University temuan yang dihimpun akan diserahkan kepada Dinas Pariwisata serta Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Tenggara sebagai rekomendasi kebijakan.

Wilayah Ohoidertutu saat ini mulai dikenal sebagai salah satu objek wisata. Hal ini tentunya membuka peluang ekonomi bagi masyarakat. Hanya saja, Faris dan tim ekspedisi memberikan catatan penting. “Ekowisata bisa menjadi solusi, tapi juga ancaman. Kalau tidak dikelola dengan baik, justru bisa merusak lingkungan dan habitat penyu. Maka, edukasi menjadi kunci utama,” tegasnya.

Faris berharap hasil ekspedisi ini dapat menjadi pijakan awal bagi pengembangan kebijakan konservasi yang berpihak pada keberlanjutan alam dan budaya. Menurutnya, sinergi antara pemerintah, masyarakat adat, dan lembaga akademik sangat penting dalam menciptakan konservasi yang berkeadilan.

Ekspedisi ini merupakan bagian dari program tahunan Lawalata IPB University yang mengintegrasikan riset sosial-ekologi, pelestarian alam, dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Melalui kegiatan ini, mahasiswa IPB University berupaya menghadirkan pendekatan ilmiah yang berakar pada nilai-nilai lokal untuk mencapai konservasi laut yang berkelanjutan dan inklusif.

“Aswara berarti keindahan tersembunyi. Keindahan itu bukan hanya tentang lautnya, tapi juga tentang bagaimana manusia dan alam bisa hidup berdampingan dengan saling menghormati,” pungkasnya. (AS)