Mahasiswa Pascasarjana IPB University Rihlah Ilmiah Pelajari Ambivalensi Masyarakat Baduy Luar

Mahasiswa Pascasarjana IPB University Rihlah Ilmiah Pelajari Ambivalensi Masyarakat Baduy Luar

mahasiswa-pascasarjana-ipb-university-rihlah-ilmiah-pelajari-ambivalensi-masyarakat-baduy-luar
Pendidikan

Bagaimana keluarga tradisional menghadapi arus modernitas tanpa kehilangan akar budaya? Pertanyaan ini coba dijawab mahasiswa Pascasarjana IPB University melalui pembelajaran lapangan ‘rihlah ilmiah’ di komunitas adat Baduy Luar, Banten.

Sebanyak 27 mahasiswa IPB University dari Program Studi Magister Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak dan Program Studi Doktor Ilmu Keluarga terlibat. Kegiatan dipandu langsung oleh Prof Euis Sunarti, Guru Besar Ilmu Keluarga IPB University sekaligus pengampu mata kuliah Ketahanan dan Kebijakan Keluarga.

Keluarga Baduy Luar kini tengah berada dalam fase transisi. Mereka mulai terbuka terhadap pengaruh luar, tapi tetap berupaya menjaga nilai dasar budaya yang diwariskan leluhur. 

Dari pengamatan yang dilakukan, mahasiswa mendapati sejumlah temuan menarik. Prof Euis menuturkan, transisi yang dialami keluarga Baduy Luar menunjukkan bahwa keluarga bukan entitas statis, melainkan entitas yang adaptif dan dinamis terhadap perkembangan zaman.

Hasil penelusuran dan pengamatan mahasiswa juga menunjukkan masyarakat adat Baduy Luar tidak sepenuhnya menolak perkembangan teknologi, tetapi mengatur ruang penggunaannya. 

“Ambivalensi (sikap tarik menarik antara menolak dan menerima dalam merespons perkembangan teknologi) ini menunjukkan adanya negosiasi budaya dalam keluarga adat Baduy Luar. Sikap ini yang justru memperkuat daya tahan budaya,” papar Prof Euis.

Sebagian keluarga mulai memanfaatkan teknologi untuk pemasaran hasil pertanian misal madu, kerajinan tangan sehingga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Namun, sebagian dari mereka tetap menjaga jarak dan mengatur penggunaan teknologi seperti handphone agar tidak kehilangan identitas kultural.

Dengan demikian, keluarga adat Baduy Luar menjadi kehidupan dalam posisi “antara”: antara tradisi yang ingin tetap dilestarikan dan modernitas yang sulit dihindarkan.

Menurut Prof Euis, fenomena ini secara kritis dapat dibaca sebagai bentuk resiliensi kultural. Beradaptasi dengan teknologi sesuai kebutuhan dan tetap teguh memegang nilai adat tanpa sepenuhnya terseret arus globalisasi. 

“Pola ini menegaskan bahwa keluarga tradisional bukan pihak yang pasif melainkan aktor aktif yang memilah dan memilih perkembangan yang relevan dengan nilai-nilai mereka walaupun belum dilakukan secara ideal,” tuturnya.

Selain itu, mahasiswa juga mempelajari banyak hal dari masyarakat Baduy Luar.

Dari sisi ketahanan keluarga, masyarakat Baduy menunjukkan kemandirian pangan 

melalui pengelolaan ladang huma secara tradisional tanpa pupuk kimia. Dari sisi pembangunan keluarga, nilai kebersamaan, gotong royong, dan musyawarah masih sangat kuat mewarnai kehidupan sehari-hari.

“Realitas ini menjadi bahan refleksi penting bagi mahasiswa untuk mengaitkan konsep akademik dengan praktik nyata di lapangan,” ungkap Prof Euis.

Melalui kegiatan ini, sebutnya, mahasiswa memperoleh pemahaman langsung bahwa ketahanan, kebijakan, dan pembangunan keluarga selalu terkait erat dengan ekosistem dan transisi yang dialami sebuah keluarga. 

“Kunjungan ke masyarakat adat Baduy menjadi sarana belajar yang kaya makna sekaligus menumbuhkan apresiasi terhadap kearifan lokal,” tutupnya. (*/Rz)