Peneliti IPB University Ungkap Pola Pergerakan Kura-kura Moncong Babi yang Terancam Punah di Sungai Kao Papua
Tim peneliti IPB University yang dipimpin oleh Prof Mirza Dikari Kusrini, pakar ekologi satwa liar dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, mengungkap pola pergerakan unik kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta) di Sungai Kao, Papua.
Satwa endemik yang berstatus endangered (terancam punah) ini menunjukkan perilaku pergerakan yang tidak teratur dan saling tumpang tindih dalam penggunaan ruang hidupnya.
“Hasil yang kami temukan untuk pola pergerakan kura-kuranya itu dia tidak menentu. Jadi ada kura-kura yang bergeraknya ke arah hulu, ada juga yang ke arah hilir, kemudian ada yang ke arah hilir terus kemudian dia naik kembali. Dia tidak memiliki pola pergerakan yang tunggal,” jelas Morgan Wayne, anggota tim peneliti.
Temuan tersebut diperoleh dari hasil pemantauan menggunakan GPS tracker yang dikembangkan secara mandiri oleh tim peneliti. GPS ini merupakan prototipe ketiga dengan biaya jauh lebih rendah dibandingkan alat komersial, memungkinkan tim tetap melakukan pelacakan satwa meskipun dengan keterbatasan anggaran.
Pemahaman terhadap pola pergerakan dan area jelajah (home range) kura-kura moncong babi dinilai penting dalam perumusan strategi konservasi yang berbasis ilmiah.
“Untuk melindungi satwa liar, kita perlu tahu kira-kira apakah semua badan sungai digunakan atau mungkin hanya sebagian. Ketika kita mengetahui, misalnya kura-kura ini bergerak di pinggir sungai atau dekat pasir peneluran, untuk kebijakan ke depannya, seperti pembuatan kawasan lindung atau kawasan konservasi, kita sudah punya dasar,” terang Morgan.
Meskipun termasuk dalam daftar satwa dilindungi, kura-kura moncong babi di kawasan Sungai Kao masih menghadapi ancaman berupa pengambilan telur oleh masyarakat lokal selama musim peneluran pada Agustus hingga Oktober. Namun demikian, Prof Mirza menilai bahwa aktivitas ini tidak berlangsung secara masif dan masyarakat setempat memiliki pemahaman ekologis yang cukup baik.
“Masyarakat itu sudah paham sekali. Mereka tahu bahwa tidak usah ambil induknya, karena kalau induknya mati, tidak dapat telur, tidak bisa jual,” ujar Prof Mirza. Ia menambahkan, sumber penghidupan masyarakat juga tidak hanya bergantung pada telur kura-kura, melainkan turut mencakup aktivitas lain seperti penangkapan ikan arwana pada musim tertentu.
Penelitian ini merupakan bagian dari kerja sama IPB University dengan PT Tunas Sawa Erma Group dan Korindo Group yang mendukung upaya konservasi satwa liar di Papua. Dijelaskan Prof Mirza, hasil riset ini diharapkan menjadi dasar bagi pengelolaan habitat kura-kura moncong babi di bantaran Sungai Kao dan menjamin pemanfaatan lestari.
Upaya tersebut dilakukan demi melindungi satwa endemik yang kini hanya ditemukan di Indonesia, Papua Nugini, dan Australia Utara dengan mempertimbangkan aspek ekologi spesies dan dinamika sosial-ekonomi masyarakat lokal. “Tim kami juga terus mengembangkan teknologi pelacakan untuk meningkatkan ketahanan dan efektivitas pemantauan satwa air lainnya di Indonesia,” pungkasnya. (Fj)
