Peneliti IPB: Penyu Indonesia Punya ‘Sidik Jari’ Genetik Berbeda, Jalan Konservasi Jadi Makin Presisi
Penyu di laut Indonesia ternyata punya “sidik jari” genetik yang berbeda. Temuan ini jadi kunci penting untuk melindungi mereka dengan strategi konservasi yang lebih tepat dan tidak asal.
Di balik tempurung yang keras dan lenggak-lenggok renangnya yang anggun menari di antara ombak, penyu ternyata menyimpan rahasia dalam dirinya, jejak genetika yang tak kasatmata, tetapi menjadi kunci untuk menjaga kelestarian mereka secara lebih cermat.
“Selama ini, konservasi penyu banyak bergantung pada pendekatan visual seperti menghitung jumlah sarang, memantau lokasi pendaratan, dan memperkirakan populasi,” kata Dr Beginer Subhan, peneliti IPB University dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK).
Akan tetapi, Dr Begin menambahkan, cara-cara itu belum mampu menjawab pertanyaan besar tentang asal-usul dan hubungan antarpopulasi yang terpencar jauh oleh jarak, waktu, bahkan arus laut. Kini, lewat genetika, kisah yang tersembunyi selama ribuan tahun mulai terbuka lembar demi lembar.
Ia menyebut bahwa genetika bisa menjadi jendela untuk menelusuri silsilah penyu, dari nenek moyang mereka hingga melihat seberapa erat keterhubungan antarkelompok dari pulau ke pulau.
“Dengan pemetaan genetik yang tepat, konservasi bukan lagi sekadar menyelamatkan, tapi juga menyambung kembali simpul-simpul kehidupan yang selama ini tersebar dan terputus diam-diam,” kata dia dalam satu kegiatan yang diadakan Disaster Management Center Dompet Dhuafa, belum lama ini.
Dr Begin menyebut ada dua penelitian yang dilakukan IPB University untuk memetakan genetika penyu di Indonesia. Tahun 2024 lalu, ia dan timnya mengkaji penyu sisik (Eretmochelys imbricata) di wilayah Laut Jawa. Mereka menganalisis bagian DNA spesifik yang disebut d-loop dari 152 individu penyu yang bertelur di enam lokasi berbeda.
Hasilnya mengejutkan. Ditemukan 20 jenis haplotipe atau “sidik jari” genetik, dan 13 di antaranya adalah temuan baru dan menunjukkan kekayaan genetika penyu sisik Indonesia yang luar biasa.
Yang lebih menarik lagi, beberapa haplotipe yang ditemukan di Indonesia ternyata juga ditemukan di Malaysia dan Australia. Artinya, ada hubungan genetik lintas negara yang menyiratkan pergerakan penyu dalam skala besar, ribuan kilometer jauhnya dan tetap kembali ke tempat asal untuk bertelur. “Bisa jadi penyu-penyu ini ‘traveling’ jauh, tapi ingat jalan pulang. Itu luar biasa,” tutur Dr Begin.
Baginya, temuan ini membuka mata akan pentingnya kerja sama konservasi lintas negara. Populasi penyu tidak mengenal batas negara, tapi mereka bergerak mengikuti arus, suhu, dan insting nenek moyangnya. Karena itulah, ia menekankan bahwa perjanjian konservasi internasional harus mempertimbangkan konektivitas genetik ini.
Sementara itu, riset lain terhadap penyu lekang (Lepidochelys olivacea) pada 2020 juga menguak cerita genetik yang tak kalah menarik. Salah satu titik fokusnya adalah Teluk Cendrawasih, wilayah timur Indonesia yang dikenal sebagai surga bawah laut. Di kawasan ini, tim menemukan bahwa populasi penyu dari Kwatisore dan Pulau Yapen punya komposisi genetik yang berbeda meski secara geografis tidak terlalu berjauhan.
Apa yang menyebabkan perbedaan itu? Ternyata jawabannya adalah arus laut. Selama musim angin barat laut, arus laut bertindak seperti pagar alami, menghalangi pertukaran genetik antarpopulasi. Akibatnya, penyu dari wilayah satu dan lainnya berkembang dengan jalur evolusi masing-masing. Mereka seperti dua saudara yang tinggal di desa berbeda dan tumbuh dengan budaya sendiri-sendiri.
Pemetaan ini bahkan membagi populasi penyu lekang ke dalam beberapa klad. Salah satu klad besar terdiri dari lima lokasi di Indonesia bagian barat seperti Aceh, Pariaman, Panggul, Serangan, dan Tuafanu dan punya koneksi genetik dengan populasi dari India. Sementara klad lainnya ditemukan di timur Indonesia yakni Kapoposang, Pulau Yapen, dan Teluk Cendrawasih.
Australia sendiri ternyata berbagi sebagian besar haplotipe dengan wilayah Indonesia. “Bayangkan betapa menakjubkannya, seekor penyu yang bertelur di pesisir Papua ternyata punya ikatan genetik dengan ‘sepupu jauhnya’ di pesisir barat India,” ungkap Dr Begin.
Temuan-temuan ini bukan hanya jadi catatan ilmiah semata. Ia memberi pesan yang tegas, konservasi tak bisa disamaratakan. Populasi penyu dengan genetik berbeda tentu membutuhkan pendekatan yang juga berbeda. Ini seperti meracik obat yang tidak semua pasien bisa disembuhkan dengan resep yang sama.
Konservasi yang selama ini mengandalkan model umum, kini harus lebih presisi. Di daerah dengan keragaman genetik tinggi, strategi pelestarian harus fokus menjaga variasi agar tak hilang. Sebaliknya, di wilayah dengan pertukaran genetik rendah, perlu pendekatan yang bisa menjaga populasi agar tak menyusut akibat perkawinan sedarah atau jumlah individu yang terlalu sedikit.
“Fakta ini mengingatkan bahwa penyu kita tidak bisa lagi diperlakukan sebagai satu populasi tunggal. Mereka unik. Mereka punya identitas genetik masing-masing. Dan bila satu populasi punah, misalnya di Teluk Cendrawasih, maka haplotipe yang hanya ada di sana bisa hilang selamanya. Tidak bisa digantikan oleh populasi dari Aceh, apalagi dari Australia, inilah urgensi konservasi berbasis genetika,” tandas Dr Begin.
Pengetahuan tentang struktur genetika ini membuka pintu untuk menyusun rencana konservasi yang lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Tak hanya menjaga lingkungan, upaya ini juga menyentuh ranah ekonomi lokal, budaya pesisir, hingga industri pariwisata yang bertumpu pada keindahan laut.
Dengan pendekatan ini, Dr Begin menyimpulkan, konservasi tak lagi sekadar menjaga agar penyu tetap hidup, tetapi memastikan mereka tetap menjadi bagian dari simfoni laut tropis yang utuh, lestari, dan diwariskan hingga generasi mendatang. (*/Rz)
