Pakar Ekonomi IPB University Urai Dampak Penerapan Pajak pada UMKM E-commerce di Indonesia

Pakar Ekonomi IPB University Urai Dampak Penerapan Pajak pada UMKM E-commerce di Indonesia

Pakar Ekonomi IPB University Urai Dampak Penerapan Pajak pada UMKM E-commerce di Indonesia
Ilustrasi e-commerce (freepik/snowing)
Riset dan Kepakaran

Pesatnya pertumbuhan sektor e-commerce di Indonesia, terutama setelah pandemi COVID-19, mendorong pemerintah untuk memberlakukan kebijakan pajak digital sebagai bentuk pengawasan dan perluasan basis penerimaan negara. 

Namun, menurut Pakar Ekonomi IPB University, Dr Anisa Dwi Utami, kebijakan ini bisa memunculkan berbagai dampak ekonomi dan sosial. Hal yang perlu dicermati secara mendalam antara lain terkait keadilan fiskal; kesiapan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); dan potensi resistensi masyarakat jika tidak disertai edukasi dan dukungan sistem yang memadai.

Dari perspektif ekonomi, ia menjelaskan, penerapan pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) pada pelaku e-commerce dinilai sebagai langkah penting menuju keadilan fiskal dan perluasan basis pajak. 

“Sebelum kebijakan ini berlaku, terjadi ketimpangan antara pelaku usaha offline yang membayar pajak secara reguler dan pelaku e-commerce yang belum tersentuh kewajiban pajak secara optimal,” ucap dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University ini.

Ketimpangan ini, lanjutnya, selain merugikan negara dari sisi penerimaan, juga menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Dengan diberlakukannya pajak pada sektor ini, diharapkan tercipta perlakuan fiskal yang setara dan peningkatan penerimaan negara tanpa perlu menaikkan tarif pajak secara menyeluruh.

Namun, Dr Anisa juga menyoroti tantangan dalam implementasi kebijakan ini. Salah satunya adalah kompleksitas sistem perpajakan yang dapat menjadi beban tambahan, terutama bagi UMKM yang mendominasi sektor e-commerce. Kurangnya kapasitas administrasi dan rendahnya literasi perpajakan menjadi kendala utama.

“Proses pencatatan transaksi, penghitungan pajak, dan pelaporan bisa jadi memberatkan pelaku UMKM jika tidak ada sistem yang mendukung digitalisasi perpajakan atau pendampingan teknis,” ujarnya.

Pengenaan pajak juga berpotensi memengaruhi harga jual barang atau jasa. Jika beban pajak dibebankan ke konsumen, maka harga barang bisa naik dan menurunkan daya saing. Sebaliknya, jika pedagang menanggung pajak sendiri, maka margin keuntungannya akan menyusut.

Dari perspektif sosial, Dr Anisa mengutarakan, kebijakan ini berpotensi menimbulkan resistensi, terutama jika dianggap memberatkan atau diterapkan tanpa sosialisasi memadai. “Banyak pelaku usaha digital adalah individu yang baru memulai usaha atau bertahan di tengah tekanan ekonomi. Mereka bisa merasa diperlakukan tidak adil,” kata dia.

Namun, lanjutnya, apabila implementasi dilakukan dengan adil, transparan, dan disertai dengan kemudahan administrasi serta insentif, maka dampaknya bisa positif. Masyarakat akan semakin sadar pentingnya pajak sebagai bentuk kontribusi terhadap pembangunan nasional.

Lebih jauh, Dr Anisa menyebut bahwa profesionalisasi UMKM digital bisa terjadi melalui kewajiban pajak. Legalitas usaha yang lebih jelas dan sistem pembukuan yang rapi akan mempermudah akses ke pembiayaan, program pelatihan, dan peningkatan daya saing.

Untuk itu, ia merekomendasikan tiga strategi utama. Pertama, edukasi masif tentang perpajakan kepada UMKM melalui berbagai kanal. Kedua, penyediaan sistem digital yang mudah dan terintegrasi dengan platform e-commerce untuk pelaporan dan pembayaran pajak. Ketiga, pemberian insentif pajak bagi pelaku usaha baru dan kecil untuk mendorong partisipasi tanpa menambah beban.

“Pajak seharusnya tidak menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi digital, tetapi menjadi sarana membangun ekosistem digital yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan,” ucapnya. (dr)