Koperasi Merah Putih Harus Jadi Gerakan Rakyat, Akademisi IPB University Syaratkan Tiga Strategi Implementasi

Koperasi Merah Putih Harus Jadi Gerakan Rakyat, Akademisi IPB University Syaratkan Tiga Strategi Implementasi

Koperasi Merah Putih Harus Jadi Gerakan Rakyat, Akademisi IPB University Syaratkan Tiga Strategi Implementasi
Ilustrasi Koperasi Merah Putih (Foto: Disprindagkop Bengkulu Selatan)
Riset

Program Koperasi Merah Putih (KMP) yang akan diluncurkan pada 12 Juli mendatang dinilai memiliki waktu sosialisasi yang terlalu singkat. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Prof Lukman M Baga, menyebut hal ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat.

“Sebagian besar masyarakat belum memahami secara menyeluruh kebijakan baru ini. Padahal, mereka yang akan menjadi pelaksana utama program tersebut,” jelasnya.

Menurutnya, kebijakan ini bersifat instruktif dengan sosialisasi minim. Pelaksanaan pun berpotensi menimbulkan masalah terkait transparansi dan akuntabilitas.

“Dana yang akan digelontorkan 3-5 miliar per kelurahan. Banyak yang antusias menjadi pengurus, tapi ketika tahu ini pinjaman lunak, bukan hibah, mulai banyak yang berpikir ulang,” ujarnya.

Kekhawatiran juga muncul dari kepala desa yang secara ex officio akan menjadi ketua pengawas KMP di wilayahnya. Kata Prof Lukman, apabila pelaksanaan KMP bermasalah, hal ini akan mempengaruhi penilaian kinerja mereka, apalagi jika terjadi rotasi jabatan ke daerah yang memiliki KMP bermasalah.

Prof Lukman juga menekankan pentingnya sinkronisasi kebijakan lintas kementerian. “Kementerian Koperasi yang menjadi leading sector, tapi pelaksanaannya juga bersentuhan dengan perdagangan, perindustrian, pertanian, dan sektor lainnya. Jangan sampai satu kebijakan melemahkan kebijakan lain,” tegasnya.

Beberapa kalangan akademisi dan pemerintah daerah pesimistis terhadap efektivitas program KMP ini. Kekhawatiran ini wajar mengingat belum adanya koordinasi yang optimal antar lembaga. 

Namun, dari perspektif Prof Lukman sebagai akademisi koperasi, ada dua pendekatan dalam pengelolaan koperasi, yaitu bottom up dan top down.

“Dalam sejarah, koperasi lahir dari inisiatif masyarakat yang kesulitan hidup dan bekerja sama untuk mengatasinya. Namun, di Indonesia bottom up sulit dilakukan karena masyarakat apatis dan citra koperasi banyak yang negatif,” jelasnya.

Meski demikian, ia mengapresiasi inisiatif Presiden Prabowo untuk mendorong gerakan koperasi sebagai bentuk pembangunan ekonomi kerakyatan. Ia mengingatkan kembali semangat Bung Hatta yang menuliskan koperasi sebagai dasar perekonomian dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, melihat koperasi bukan sekadar badan usaha, melainkan sebagai alat pergerakan ekonomi rakyat.

Menurutnya, ada tiga strategi penting dalam implementasi Koperasi Merah Putih (KMP). Pertama, upgrading sumber daya manusia (SDM). Prof Lukman menyatakan, pelatihan dan sertifikasi pengurus koperasi harus menjadi prioritas agar mereka memiliki kompetensi yang memadai.

“Dalam beberapa bulan, pengurus harus lulus sertifikasi, kalau tidak, harus diganti,” tegasnya.

Kedua, kolaborasi lintas sektor. Program KMP harus menjadi simbol kolaborasi nasional yang melibatkan industri, pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat.  Ia mencontohkan, IPB University dapat membina semua KMP yang berada di Kabupaten Bogor melalui inovasi teknologi dan pelatihan kewirausahaan.

“Industri jangan mengambil bahan baku dari luar negeri jika bisa disuplai koperasi lokal. Perguruan tinggi pun harus membina KMP di wilayahnya,” ujarnya.  

Ketiga, monitoring dinamis. Ia menyarankan adanya mekanisme monitoring dan evaluasi secara bulanan, bukan hanya tahunan, agar perkembangan koperasi dapat terpantau dan masalah diantisipasi sejak dini.

“Kalau setahun sekali dievaluasi, terlalu terlambat. Dengan monitoring dinamis, kejanggalan bisa terdeteksi lebih awal,” katanya.

Di akhir, ia menegaskan pentingnya kolaborasi untuk memastikan KMP bukan hanya menjadi program bisnis semata, tetapi gerakan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan dan membawa kesejahteraan bersama. (AS)