IPB University dan KOICA Perkuat Riset Biosains dan Program MBG

Dalam upaya mendukung kerja sama bilateral antara Korea dan Indonesia, khususnya di bidang biosains, IPB University bersama Korea International Cooperation Agency (KOICA) mengadakan kegiatan NICAB 2025, (23–25/7) di IPB International Convention Center, Bogor.
Kegiatan ini menjadi bagian dari kolaborasi strategis untuk membangun pusat riset pertanian dan biosains berkelas dunia atau IPB-SNU Center for Agriculture and Bioscience (KOICA-ICAB) di IPB University.
Dr Rinekso Soekmadi, Co Project Manager (Co-PM) KOICA-ICAB, menjelaskan bahwa inisiasi program ini telah dirancang sejak lama dan memberikan dampak signifikan terhadap pengembangan IPB University.
“Program ini awalnya sudah lama direncanakan. Inisiasinya mulai 2019, bahkan sebelumnya, tetapi baru terwujud pada saat pandemi COVID-19,” ungkap Dr. Rinekso.
Ia menambahkan, fokus utama kerja sama KOICA-ICAB adalah terkait capacity building. Program ini tidak hanya menyediakan alat laboratorium, tetapi juga meningkatkan kemampuan pengguna dalam mengoperasikan alat secara optimal dan berkelanjutan.
“Untuk meningkatkan ranking universitas, salah satunya adalah melalui publikasi berkualitas. Publikasi itu lahir dari penelitian yang baik, dan penelitian yang baik lahir dari kapasitas laboratorium yang mumpuni,” ujarnya.
Tahun ini, ia menjelaskan, program difokuskan pada sektor pangan dan makanan, yang juga selaras dengan prioritas nasional dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Kami berharap ke depan ada kerja sama antara Indonesia dan Korea dalam program MBG. Di Korea, program ini sudah berjalan dengan sangat baik, dan mudah-mudahan kita bisa belajar dari kesuksesan mereka,” lanjutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dr Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), menyampaikan bahwa kerja sama antara BGN dan IPB University menjadi momentum penting untuk memperkuat ketahanan pangan melalui program MBG yang saat ini tengah berjalan.
“Saya ucapkan terima kasih kepada IPB University. Ini kesempatan baik untuk menjelaskan program MBG di hadapan perguruan tinggi Indonesia dan Korea,” tuturnya.
Dr Dadan menjelaskan, program MBG memiliki keterkaitan erat dengan sektor pertanian. Pasalnya, 95 persen bahan bakunya berasal dari produk pertanian.
Ia mencontohkan pengalaman Korea Selatan yang selama sembilan tahun telah mengembangkan program makan siang gratis untuk 1.300 sekolah. Pengalaman Korea menekankan pentingnya penggunaan bahan baku lokal berbasis lingkungan. Ia berharap Indonesia juga dapat mencapai tahap di mana seluruh menu makan bergizi disusun berdasarkan potensi dan preferensi lokal.
“Setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) harus bisa meramu menu berbasis sumber daya lokal dan kesukaan masyarakat setempat. Ketika program ini berjalan, ketahanan pangan desa dan kecamatan akan meningkat dan tidak ada lagi isu pangan di tingkat nasional,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya membangun ekosistem yang mendukung jalannya program ini. Sebagai contoh, satu SPPG yang melayani 3.000 penerima manfaat per hari memerlukan sekitar 200 kg beras, 3.000 butir telur, 350 ekor ayam, 300 kg sayur, 350 kg buah, dan 490 liter susu per hari. Dengan satu ekor sapi menghasilkan 10 liter susu per hari, satu SPPG memerlukan 50 ekor sapi. Jika terdapat 10 SPPG, maka dibutuhkan 500 ekor sapi.
“Ini peluang besar untuk pengembangan produk pertanian lokal karena kami tidak ingin program ini diisi produk impor. Kami menghargai keragaman lokal dan menu yang dikembangkan juga berbasis potensi lokal,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa satu SPPG mengelola dana sekitar Rp10 miliar per tahun, dengan 85 persen dialokasikan untuk pembelian bahan baku yang 95 persennya berasal dari produk pertanian.
“Suksesnya program MBG identik dengan peningkatan ketahanan pangan. Untuk itu, kualitas bahan baku harus baik sejak awal, pengolahan higienis, pengiriman cepat, dan saat distribusi di sekolah pun harus segera dikonsumsi agar tidak basi,” pungkasnya. (AS)