Guru Besar IPB University: Gula Rafinasi Jadi Andalan Industri, Produksi Dalam Negeri Belum Mencukupi

Guru Besar IPB University: Gula Rafinasi Jadi Andalan Industri, Produksi Dalam Negeri Belum Mencukupi

Guru Besar IPB University Gula Rafinasi Jadi Andalan Industri, Produksi Dalam Negeri Belum Mencukupi
Ilustrasi gula rafinasi (foto: freepik/jcomp)
Riset dan Kepakaran

Indonesia saat ini menjadi negara pengimpor gula terbesar di dunia, menyalip Tiongkok sejak tahun 2016-2017. Demikian disampaikan Prof Nuri Andarwulan, Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University, dalam penjelasannya terkait ekosistem gula nasional dan global.

“Hingga kini, Indonesia masih bergantung pada impor gula kristal mentah untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi dan industri. Sementara produktivitas dalam negeri belum mampu menutup defisit yang terus terjadi setiap tahun,” ujarnya diwawancarai secara daring (10/7).

Menurut Prof Nuri, gula yang beredar di dunia mayoritas berasal dari tebu (80 persen) dan sisanya dari bit (20 persen). Di Indonesia, proses produksi gula diawali dengan menggiling tebu untuk menghasilkan jus tebu. 

“Jus ini dipisahkan dari ampasnya (bagas) lalu melalui tahap penghilangan kotoran hingga menghasilkan raw sugar atau gula kristal mentah. Raw sugar ini kemudian diolah menjadi gula kristal putih (GKP) atau gula kristal rafinasi (refined sugar),” urainya.

Produk samping dari tahap ini antara lain bagas, blotong, dan molases. Bagas sepenuhnya digunakan sebagai bahan bakar boiler pabrik gula. Blotong dimanfaatkan sebagai pupuk organik, sedangkan molases dijual ke industri MSG.

Hadapi Masalah Serius
Prof Nuri menandaskan, Indonesia saat ini menghadapi masalah serius karena produksi gula konsumsi dalam negeri rata-rata hanya 2,2 hingga 2,4 juta ton. Padahal, kebutuhan masyarakat mencapai 3 juta ton per tahun. Artinya, terdapat kekurangan sekitar 1 juta ton yang harus ditutupi melalui impor.

Menariknya, gula yang diimpor Indonesia bukan GKP siap konsumsi, melainkan gula kristal mentah. Impor gula kristal mentah ini perlu diolah lebih lanjut di dalam negeri menjadi GKP atau gula rafinasi sebelum dapat dikonsumsi. 

“Data menunjukkan, impor gula kristal mentah Indonesia mencapai 5,2 juta ton pada 2022-2023, dengan pemasok utama adalah Thailand, diikuti Brazil, Australia, dan India,” ungkapnya. 

Lebih lanjut, Prof Nuri menjelaskan bahwa di Indonesia terdapat 59 pabrik gula milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah PT Sinergi Gula Nusantara dan 11 pabrik swasta nasional. Namun, pabrik BUMN hanya beroperasi rata-rata 160 hari per tahun, sedangkan pabrik swasta dapat beroperasi hingga 320 hari per tahun. 

“Produktivitas pabrik BUMN pun rendah karena banyak menggunakan mesin tua berusia ratusan tahun, sementara pabrik swasta memiliki mesin modern dengan kapasitas lebih besar,” ungkapnya.

“Bagaimana kita mau mengurangi impor kalau produktivitas pabrik dalam negeri sangat rendah?” lanjut Prof Nuri menegaskan.

Ia juga menyoroti kebijakan regulasi yang tumpang tindih. GKP dan gula kristal mentah diatur Kementerian Pertanian, sedangkan gula kristal rafinasi diatur Kementerian Perindustrian, dan perdagangannya diawasi Kementerian Perdagangan.

“Akibatnya, distribusi gula konsumsi sering mengalami masalah, termasuk bocornya gula rafinasi ke pasar konsumsi untuk menutup kekurangan pasokan,” tandasnya. 

Selain itu, standar mutu GKP dalam SNI direvisi pada 2020. Dari sebelumnya terdapat dua kelas mutu (GKP 1 dan GKP 2), kini diubah menjadi satu standar saja. Revisi standar ini, menurut Prof Nuri, masih belum menunjukkan mutu yang sepadan dengan gula kristal rafinasi.

“Industri pangan membutuhkan gula rafinasi karena kualitasnya lebih putih dan bersih dibanding GKP. Gula kristal putih tidak dapat digunakan industri karena warnanya tidak seragam dan mempengaruhi cita rasa produk,” pungkasnya. (AS)