Tupai dan Bajing Sering Disangka Sama, Peneliti PSSP IPB University Ungkap Perbedaan Mendasar Keduanya

Tupai dan Bajing Sering Disangka Sama, Peneliti PSSP IPB University Ungkap Perbedaan Mendasar Keduanya

Tupai dan Bajing Sering Disangka Sama, Peneliti PSSP IPB University Ungkap Perbedaan Mendasar Keduanya
Riset dan Kepakaran

Siapa yang masih menganggap tupai dan bajing adalah hewan yang sama? Meski kerap disamakan karena bentuk tubuh yang serupa dan sama-sama hidup di pepohonan, tupai dan bajing ternyata berasal dari ordo yang berbeda dan memiliki perilaku serta karakteristik fisik yang cukup kontras. 

Koordinator Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi yang juga sebagai Peneliti Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB University, Dr Maryati Surya, mengungkap secara rinci perbedaan antara dua hewan kecil ini yang sering disalahpahami masyarakat.

Dr Maryati menjelaskan bahwa tupai atau treeshrew (Tupaia) adalah mamalia kecil dari ordo Scandentia. Hewan ini memiliki tubuh menyerupai bajing, tetapi merupakan omnivora yang memangsa serangga, kutu, hewan kecil lainnya, serta buah dan biji-bijian.

“Secara taksonomi, Tupaia berbeda jauh dari bajing. Tupai berasal dari ordo Scandentia yang terdiri dari dua famili, yaitu Tupaiidae yang aktif di siang hari (diurnal) dan Ptilocercidae yang aktif di malam hari (nokturnal),” jelasnya.

Tupai, lanjutnya, menyebar di wilayah tropis mulai dari India hingga Filipina, termasuk Indonesia, dari Sumatera, Jawa, Bali sampai Kalimantan. Mereka dapat hidup secara arboreal (di pohon) maupun terestrial (di tanah), dan lebih suka lingkungan hutan tropis serta area perkebunan.

Secara fisik, tupai memiliki tubuh kecil dengan berat antara 45 hingga 350 gram dan panjang tubuh 12 sampai 21 cm. “Tupai memiliki moncong yang lebih menonjol dan wajah yang lebih tirus dibanding bajing, mirip celurut,” kata Dr Maryati. Ia juga menambahkan bahwa tupai bersifat soliter dan monogami, serta jarang mendekati manusia.

Sementara itu, bajing berasal dari ordo Rodentia, famili Sciuridae, yang mencakup hewan pengerat kecil hingga sedang. Tidak seperti tupai yang omnivora, bajing bersifat herbivora, mengonsumsi kacang-kacangan, buah, dan biji-bijian.

“Bajing lebih mudah ditemukan di lingkungan yang dekat dengan manusia dan sering dianggap sebagai hama karena makanannya,” ujar Dr Maryati. Ia menyebutkan bahwa bajing memiliki ciri khas ekor panjang dan lebat yang melengkung ke atas, serta kepala bulat dengan pipi dan mata besar.

Bajing juga hidup dalam kelompok dan aktif secara sosial, berbeda dari tupai yang cenderung menyendiri. Ukuran bajing pun bervariasi, dari jenis terkecil dengan panjang sekitar 10–14 cm hingga bajing besar seperti marmot yang beratnya bisa mencapai lebih dari 8 kilogram.

Melalui penjelasan ini, Dr Maryati berharap masyarakat dapat lebih memahami dan membedakan antara tupai dan bajing, sehingga tidak salah kaprah dalam mengenali dan memperlakukan kedua spesies ini. 

“Kita perlu memahami perbedaan ini, apalagi dalam konteks konservasi dan interaksi dengan satwa liar,” ucapnya. 

Sebagai informasi, penelitian PSSP IPB University telah berhasil mengembangkan kultur sel hati (hepatosit) Tupaia javanica sebagai model in vitro. Kultur sel ini terbukti mampu mendukung pertumbuhan virus hepatitis B yang berasal dari owa dan orangutan. 

Dalam rangka pemanfaatan lebih lanjut dari kultur sel hepatosit tersebut, PSSP menjalin kerja sama penelitian dengan Mochtar Riady Institute of Nanotechnology untuk studi terkait virus hepatitis C pada manusia, serta dengan Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) untuk penelitian virus hepatitis B pada manusia. (dr)