Sanitasi dan Pengendalian Suhu Jadi Kunci Cegah Keracunan Makanan, Ini Kata Pakar Keamanan Pangan IPB University

Lonjakan kasus keracunan makanan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang berlangsung di Kota Bogor menyita perhatian publik. Hingga kini, per 15 Mei 2025, tercatat 223 siswa mengalami keracunan. Pemerintah Kota Bogor pun menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) atas peristiwa tersebut.
Menanggapi kejadian ini, Pakar Keamanan Pangan IPB University, Prof Ratih Dewanti-Hariyadi, memberikan pandangan ilmiahnya terkait kemungkinan penyebab dan upaya pencegahan insiden serupa di masa mendatang. Menurutnya, makanan siap saji yang dimasak dalam jumlah besar memiliki tingkat risiko tinggi terhadap kontaminasi, terutama oleh mikroorganisme patogen.
“Berdasarkan laporan yang ada, kelompok pangan siap saji memang merupakan penyebab utama kasus keracunan di Indonesia dan dunia. Makanan jenis ini dikonsumsi langsung setelah dimasak dan cenderung lebih rentan dibandingkan produk pangan olahan industri yang dikemas,” ujarnya.
Prof Ratih menjelaskan bahwa penyebab keracunan dapat berasal dari dua hal utama, yakni bahaya kimiawi dan bahaya mikrobiologis. Namun, dari data yang tersedia, penyebab terbesar lebih banyak berasal dari mikroorganisme seperti bakteri patogen.
“Bakteri bisa masuk ke makanan melalui bahan baku yang kurang higienis, alat masak yang tercemar, pekerja hingga proses penyimpanan yang tidak tepat. Pada makanan siap saji dalam skala besar, faktor penyimpanan ini sangat krusial. Bila makanan tidak segera didinginkan setelah dimasak, spora bakteri bisa aktif kembali dan memproduksi racun,” jelasnya.
Sebagai Guru Besar Ilmu Teknologi Pangan IPB University, Prof Ratih menekankan bahwa bakteri pembentuk spora seperti Bacillus cereus atau Clostridium perfringens dapat bertahan terhadap suhu tinggi. Ketika makanan panas tidak segera didinginkan, spora ini dapat kembali aktif, tumbuh dan/atau memproduksi toksin yang berbahaya bagi konsumen.
“Kalau makanan disimpan terlalu lama dalam suhu ruang, misalnya lebih dari dua jam, risiko terjadinya kontaminasi sangat tinggi. Dalam konteks program MBG yang memasak dalam jumlah besar, proses pendinginan makanan harus menjadi perhatian utama,” tambahnya.
Prof Ratih menyebut pentingnya penerapan standar kebersihan dasar dan pengendalian proses pangan secara konsisten. Ia menggarisbawahi dua aspek penting dalam pengolahan makanan skala besar yaitu sanitasi-higiene dan pengendalian tahapan produksi.
“Sanitasi-higiene dasar seperti kebersihan alat, ruang, dan personalia mutlak diterapkan. Selain itu, air yang digunakan harus memenuhi standar air minum. Tidak cukup hanya bersih, tetapi juga harus ada prosedur pembersihan yang dipantau dan dievaluasi secara rutin,” tegasnya.
Ia menerangkan, kurangnya penerapan sanitasi dan higiene memungkinkan patogen bukan pembentuk spora seperti Escherichia coli patogenik, Salmonella, Staphylococcus aureus mencemari pangan mentah, pangan yang kurang pemanasan atau menyebabkan kontaminasi pasca pemanasan.
Dalam hal pengendalian proses, Prof Ratih mencontohkan pentingnya menyimpan bahan baku dalam kondisi dan suhu yang sesuai, memastikan pemasakan mencapai suhu minimal 70°C, dan melakukan pendinginan segera setelah makanan matang.
Pendinginan cepat, menurutnya, dapat dilakukan dengan pemorsian makanan dalam ukuran kecil, sehingga panasnya lebih cepat turun.
“Kalau dibiarkan dalam baskom besar, suhu makanan turun sangat lambat. Ini membuka peluang bagi spora untuk kembali aktif. Jadi solusinya adalah porsikan makanan segera dalam wadah kecil-kecil setelah dimasak,” jelas Prof Ratih.
Dalam situasi darurat seperti saat ini, menurut Prof Ratih, setiap pelaksana program makanan skala besar seperti MBG harus memiliki SOP yang baku mengenai lokasi, bangunan, peralatan yang dapat mengacu pada tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan, khusunya bagi Jasaboga Golongan B, standar kebersihan, penyimpanan, pemasakan, dan pendinginan. Evaluasi dan monitoring penerapan SOP ini harus dilakukan secara berkala untuk memastikan keamanan pangan yang berkelanjutan.
“Tujuannya tidak hanya untuk menanggulangi kejadian keracunan, tapi lebih penting lagi adalah mencegahnya agar tidak terjadi di masa mendatang. Edukasi tentang keamanan pangan bagi seluruh pelaksana program juga harus ditingkatkan,” ungkapnya. (dr)