Pilih Vitamin Alami atau Sintesis? Dosen FK IPB University Jelaskan Perbedaan dan Manfaat Keduanya

Vitamin merupakan komponen penting dalam menjaga kesehatan. Sumbernya dapat berasal dari bentuk alami maupun sintetis. Dosen Fakultas Kedokteran (FK) IPB University, dr Agil Wahyu Wicaksono, MBiomed, menjelaskan perbedaan mendasar, dosis penggunaan, hingga manfaat antara keduanya.
“Vitamin sintetis dan alami memiliki asal-usul yang berbeda. Vitamin alami diperoleh dari sumber makanan utuh seperti tumbuhan dan hewan. Sementara vitamin sintetis dibuat di laboratorium melalui proses kimia untuk meniru struktur kimia vitamin alami,” jelasnya.
Dalam hal penyerapan oleh tubuh atau bioavailabilitas, ia mengungkapkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa bentuk sintetis dari nutrien tertentu, seperti folat, dapat lebih mudah diserap dibandingkan bentuk alaminya.
Dari segi dampak kesehatan, dr Agil menyatakan, ada penelitian yang menyatakan bahwa vitamin alami memiliki keunggulan, misalnya dalam mendukung kesehatan kardiovaskular. Meski demikian, studi lain tidak menemukan perbedaan signifikan antara bentuk sintetis dan alami untuk vitamin tertentu seperti vitamin C.
“Karena itu, pemilihan antara vitamin sintetis dan alami sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan individu, keterbatasan diet, serta tujuan kesehatan secara keseluruhan,” terangnya.
Manfaat dan Risiko Vitamin Sintetis
Lebih jauh, dr Agil menuturkan, vitamin sintetis dapat bermanfaat untuk mengatasi kekurangan nutrisi tertentu. Konsumsi vitamin sintetis dalam jangka panjang memberikan manfaat penting, terutama dalam membantu memenuhi kebutuhan mikronutrien bagi individu yang mengalami kekurangan gizi atau memiliki kondisi tertentu seperti kehamilan, usia lanjut, atau gangguan penyerapan.
Kelebihan lainnya, vitamin sintetis juga lebih stabil, memiliki umur simpan yang lebih lama, dan memungkinkan pemberian dosis yang presisi, sehingga sering digunakan dalam terapi medis untuk mengatasi defisiensi vitamin.
Namun demikian, ia juga mengingatkan pentingnya untuk mempertimbangkan manfaat dan risikonya secara menyeluruh. Penggunaannya dalam jangka panjang juga mengandung risiko.
“Salah satu risiko utama adalah toksisitas akibat akumulasi vitamin larut lemak seperti A, D, E, dan K di dalam tubuh. Hal ini dapat menimbulkan efek samping serius, termasuk kerusakan hati dan gangguan sistem saraf,” ungkapnya.
Selain itu, beberapa bentuk sintetis seperti dl-α-tokoferol (vitamin E sintetis) memiliki aktivitas biologis yang lebih rendah dibandingkan bentuk alaminya, sehingga efektivitasnya bisa berbeda.
Oleh karena itu, meskipun vitamin sintetis bermanfaat, dr Agil berpesan agar penggunaannya sebaiknya dilakukan dengan bijak dan di bawah pengawasan medis untuk menghindari dampak negatif terhadap kesehatan.
Dosis yang Disarankan
Untuk menghindari efek toksik, dr Agil mengungkap pentingnya memperhatikan batas asupan harian. Dosis suplemen disesuaikan berdasarkan kebutuhan individu, memperhatikan angka kecukupan gizi, serta menghindari konsumsi melebihi tolerable upper intake level (UL), kecuali atas saran dokter atau ahli gizi.
“Vitamin yang larut dalam air, seperti vitamin C dan vitamin B kompleks, umumnya lebih aman dikonsumsi dalam jumlah lebih tinggi karena kelebihannya akan dibuang melalui urin, meskipun tetap memiliki batas yang dianjurkan,” urainya.
Misalnya, dr Agil mencontohkan, dosis harian vitamin C yang direkomendasikan adalah 75–90 mg. Namun, batas atas yang dianggap aman adalah 2.000 mg per hari.
Sementara itu, vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K lebih mudah menumpuk di dalam tubuh sehingga lebih berisiko menimbulkan toksisitas.
Sebagai contoh, dosis harian vitamin A yang direkomendasikan sekitar 700–900 mikrogram retinol activity equivalents (RAE). Asupan di atas 3.000 mikrogram RAE dapat menyebabkan efek toksik. Batas aman vitamin D sekitar 100 mikrogram (4.000 IU) per hari, meskipun dosis terapeutik bisa lebih tinggi di bawah pengawasan medis.
Kondisi yang Perlu Vitamin Sintetis
dr Agil menyampaikan, dalam beberapa kondisi penyakit, asupan suplemen vitamin sintetis diperlukan untuk mengatasi kekurangan nutrisi atau mendukung kebutuhan kesehatan tertentu. Beberapa di antaranya:
- Penyakit hati (seperti sirosis): menyebabkan kekurangan nutrisi yang memerlukan suplementasi, khususnya vitamin K
- Neuropati
- Gangguan malabsorbsi (penyakit celiac): pemberian suplemen diperlukan akibat menghambatnya penyerapan vitamin
- Malnutrisi umum: membutuhkan suplemen untuk mengatasi berbagai kekurangan gizi
- Penyakit ginjal kronis: memerlukan suplemen vitamin D.
- Kondisi kulit (dermatitis eksfoliatif): memerlukan suplemen retinoid (vitamin A sintetis)
- Gangguan perdarahan: ditangani dengan suplemen vitamin K
- Kehamilan dan menyusui: dianjurkan mengonsumsi suplemen untuk mendukung kesehatan ibu dan bayi di tengah meningkatnya kebutuhan vitamin.
Dengan memahami perbedaan, manfaat, dan risiko antara vitamin sintetis dan alami, serta memperhatikan dosis yang tepat dan kondisi kesehatan individu, diharapkan masyarakat dapat mengambil keputusan yang lebih informatif mengenai suplementasi vitamin. Konsultasi dengan dokter atau ahli gizi tetap menjadi langkah terbaik untuk mendapatkan rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. (AS)