Para Akademisi IPB University Soroti Ketimpangan Gender di Industri Sawit, Desak Kebijakan yang Lebih Berpihak pada Perempuan

Para Akademisi IPB University Soroti Ketimpangan Gender di Industri Sawit, Desak Kebijakan yang Lebih Berpihak pada Perempuan

Para Akademisi IPB University Soroti Ketimpangan Gender di Industri Sawit, Desak Kebijakan yang Lebih Berpihak pada Perempuan
Riset

Kesetaraan gender di sektor perkebunan kelapa sawit menjadi sorotan dalam seminar nasional bertajuk “Partisipasi Perempuan dan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia: Bagaimana Kebijakan Pemerintah Perkebunan Mendukung Kesetaraan Gender”.

Acara digelar secara daring (15/5) oleh tiga pusat studi di bawah naungan Lembaga Riset Internasional Pembangunan Sosial, Ekonomi dan Kawasan (LRI PSEK) IPB University: Pusat Studi Agraria, Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, dan Pusat Kajian Gender dan Anak.

Seminar ini menghadirkan tiga akademisi IPB University: Dr Dyah Ita Mardiyaningsih, Dr Widyastutik, dan Dr Bayu Eka Yulian. Ketiganya memaparkan hasil riset kolaboratif dengan University of Illinois mengenai peran perempuan dalam industri sawit dan tantangan kesetaraan gender yang mereka hadapi.

Dr Dyah Ita Mardiyaningsih, Sekretaris Pusat Studi Agraria IPB University, menekankan pentingnya data terpilah gender dalam merumuskan kebijakan publik. “Tanpa data yang adil, perempuan akan terus terpinggirkan dari ruang pengambilan keputusan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti bahwa perempuan pekerja sawit mengalami beban ganda serta kurangnya pengakuan terhadap kontribusi ekonomi mereka.

Penelitian yang dilakukan di tiga kabupaten (Asahan, Siak, dan Kutai Kartanegara) melibatkan 600 responden perempuan. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas pekerja perempuan hanya berpendidikan SD hingga SMA. Dr Dyah menekankan perlunya kebijakan afirmatif untuk meningkatkan partisipasi perempuan dan mengurangi ketimpangan gender.

Dr Widyastutik, dosen Ilmu Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, mengungkapkan bahwa perempuan bukan hanya pencari nafkah tambahan melainkan juga pilar utama ekonomi keluarga. 

“Mereka aktif dalam investasi rumah tangga seperti tabungan, pembelian ternak, dan properti. Ini menunjukkan kemandirian finansial perempuan di tengah keterbatasan,” jelasnya. Ia merekomendasikan penguatan literasi keuangan serta program afirmatif berbasis gender sebagai langkah penting untuk memberdayakan perempuan.

Sementara itu, Dr Bayu Eka Yulian, dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB University mengangkat isu struktural dalam industri sawit yang maskulin dan belum ramah terhadap kebutuhan dasar perempuan. 

Ia menyoroti masih terbatasnya fasilitas seperti ruang laktasi, toilet yang layak, dan tempat penitipan anak. “Diskriminasi upah, pelecehan seksual, hingga minimnya partisipasi dalam pengambilan keputusan menjadi tantangan nyata yang harus segera diatasi,” tegasnya.

Ketiga narasumber sepakat bahwa peningkatan partisipasi perempuan di industri sawit memerlukan pendekatan holistik, mulai dari pengumpulan data terpilah, literasi finansial, hingga perlindungan hukum. Hasil penelitian ini akan dituangkan dalam policy brief untuk pemerintah dan perusahaan, serta dipublikasikan dalam jurnal internasional bereputasi.

Rekomendasi utama dari seminar ini mencakup penyusunan kebijakan afirmatif, penguatan regulasi, serta penyediaan sistem pelaporan kekerasan yang aman dan terintegrasi. Harapannya, hasil ini dapat menjadi rujukan bagi pemerintah dan pelaku industri sawit untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan inklusif bagi perempuan. (Fj)