Pakar Keluarga IPB University: Tragedi Kebakaran Kendari, Potret Kegagalan Perlindungan Perempuan dan Anak

Tragedi kebakaran menewaskan tiga balita bersaudara di Kendari, Sulawesi Tenggara. Pakar Keluarga sekaligus Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Dr Yulina Eva Riany, menyebut kejadian ini bukan hanya sebuah musibah rumah tangga, tetapi juga mencerminkan potret kegagalan sistemik perlindungan perempuan dan anak di Indonesia.
“Fakta bahwa sang ibu, Siska Amelia, baru berusia 23 tahun dan telah memiliki lima anak dari tiga kali pernikahan, menunjukkan adanya masalah yang jauh lebih dalam, yaitu kegagalan sistem dukungan sosial dalam mencegah perkawinan anak dan menyediakan pendampingan bagi orang tua tunggal,” jelasnya.
Terkait kejadian ini, ia menyampaikan beberapa pandangan. Pertama, usia balita yang sepenuhnya bergantung pada orang dewasa. Balita tidak memiliki kemampuan mengenali tanda bahaya atau menyelamatkan diri saat darurat.
“Ketika ditinggalkan sendirian, risiko kehilangan nyawa semakin besar. Ini merupakan kegagalan pengasuhan yang aman, yang seharusnya menjadi pengetahuan dasar bagi setiap orang tua,” ujarnya.
Kedua, menurut Dr Yulina, pengasuhan bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga memastikan keselamatan. Ia menambahkan bahwa keputusan meninggalkan empat anak sendirian selama berjam-jam mencerminkan kurangnya pemahaman akan tanggung jawab pengasuhan.
“Kasus ini menegaskan bahwa edukasi pengasuhan yang aman harus menjadi prioritas, terutama bagi ibu-ibu muda yang rentan dan tidak memiliki pengetahuan tentang pengasuhan yang memadai,” jelasnya.
Ketiga, minimnya dukungan sosial bagi perempuan, utamanya bagi mereka yang menikah di usia dini. Menurut Dr Yulina, Siska merupakan contoh nyata dampak pernikahan usia dini yang tidak diikuti dengan kesiapan emosional, ekonomi, maupun sosial untuk menjadi orang tua. Ia menegaskan, sistem sosial gagal memberikan perlindungan yang memadai, baik berupa edukasi, konseling, maupun pendampingan pascapernikahan.
“Setelah perceraian, ketiadaan jejaring dukungan dari keluarga atau komunitas membuat beban pengasuhan sepenuhnya jatuh di pundak seorang single parent dengan usia yang masih sangat belia dan masih berjuang mencari identitas serta stabilitas hidupnya,” tambahnya.
Keempat, kegagalan perlindungan anak. Dr Yulina berpandangan, kasus ini menunjukkan lemahnya keberadaan dan peran mekanisme perlindungan anak di tingkat komunitas, seperti kader perlindungan anak, pos pelayanan terpadu (Posyandu), atau forum anak.
“Tidak adanya pemantauan kondisi keluarga berisiko tinggi seperti ini menyebabkan banyak masalah terabaikan hingga berujung pada tragedi,” imbuhnya.
Terakhir, kondisi rumah tangga yang tidak ramah anak memperbesar risiko. Lingkungan tempat tinggal yang tidak aman, tanpa alat deteksi kebakaran atau jalur evakuasi, memperparah fatalitas ketika bencana terjadi.
“Ini merupakan cerminan dari absennya kesadaran publik dan kebijakan lokal tentang mitigasi risiko rumah tangga,” ujar Dr Yulina yang merupakan dosen di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia IPB University.
Bagi Dr Yulina, tragedi ini harus menjadi alarm nasional. Butuh langkah bersama semua pihak, antara lain bagaimana mencegah perkawinan anak, memperkuat edukasi pengasuhan aman, dan menyediakan pendampingan bagi ibu muda utamanya single parent.
Ia juga merekomendasikan untuk memperluas akses bantuan sosial, serta membangun sistem perlindungan anak yang benar-benar hadir hingga ke tingkat keluarga.
“Anak-anak adalah investasi masa depan bangsa yang harus dilindungi dari lingkaran kerentanan dan kekerasan yang bisa dicegah,” pungkasnya. (*/Rz)