Pakar Keluarga IPB University Ingatkan Dampak Childfree bagi Struktur Demografi Indonesia

Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak IPB University, Dr Yulina Eva Riany, SP, MEd, menyampaikan pandangannya terkait fenomena childfree atau keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak yang belakangan semakin menjadi sorotan di Indonesia.
Menurut Dr Yulina, ada berbagai alasan yang melatarbelakangi pilihan ini, mulai dari faktor finansial hingga pengaruh budaya. “Biaya hidup yang terus meningkat dan mahalnya biaya pendidikan menjadi pertimbangan utama bagi banyak pasangan untuk memilih tidak memiliki anak,” ujarnya, Kamis (22/5).
Selain itu, dorongan untuk fokus pada pengembangan karier juga menjadi alasan yang sering ditemukan. Banyak pasangan, kata Dr Eva, ingin mengalokasikan waktu dan energi sepenuhnya untuk pencapaian profesional.
Ia juga menyebutkan faktor lain seperti keinginan untuk merasakan kebebasan tanpa tanggung jawab membesarkan anak, trauma masa lalu akibat pola asuh yang buruk, serta masalah kesehatan yang membuat kehamilan dan persalinan berisiko.
“Pengaruh budaya Barat yang menekankan kebebasan individu juga turut berperan dalam meningkatnya tren ini,” tambahnya. Kekhawatiran terhadap dampak lingkungan dan sosial akibat pertumbuhan populasi turut memengaruhi pilihan tersebut.
Lebih lanjut, Dr Eva menyoroti dampak dari tren childfree, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, keputusan ini bisa mengurangi beban finansial keluarga dan pemerintah. Namun, dalam jangka panjang, ia memperingatkan bahwa fenomena ini berpotensi mengganggu struktur demografi.
“Pengalaman negara seperti Jepang dan Korea Selatan menunjukkan bahwa penurunan angka kelahiran bisa berdampak serius terhadap jumlah populasi pekerja, serta meningkatkan tekanan sosial dan ekonomi kepada pemerintah, terutama dalam layanan pensiun dan kesehatan,” jelasnya.
Untuk mengantisipasi dampak negatif, Dr Eva mendorong peningkatan edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya keluarga dan peran anak dalam masyarakat. Ia juga menyarankan pemberian dukungan ekonomi kepada pasangan muda, penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih merata, serta menciptakan narasi baru tentang kebebasan dan kebahagiaan yang compatible dengan kehidupan berkeluarga.
Selain itu, strategi kerja yang ramah keluarga seperti jam kerja fleksibel, kerja jarak jauh, dan cuti orang tua juga dianggap penting. “Edukasi pengasuhan yang melibatkan laki-laki dalam peran orang tua serta menampilkan role model keluarga muda yang tetap tumbuh secara pribadi sambil membesarkan anak juga diperlukan,” pungkasnya. (dh)