Pakar IPB University Ungkap Strategi Pengendalian Tikus Sawah: Bukan Hanya Mengandalkan Burung Hantu

Pakar IPB University Ungkap Strategi Pengendalian Tikus Sawah: Bukan Hanya Mengandalkan Burung Hantu

Pakar IPB University Ungkap Strategi Pengendalian Tikus Sawah Bukan Hanya Mengandalkan Burung Hantu
Riset

Burung hantu serak jawa (Tyto alba), predator tikus yang terbukti efektif di perkebunan kelapa sawit luar Jawa, kini tengah dijajaki potensinya dalam pengendalian hama tikus sawah di Pulau Jawa.

Efektivitas burung hantu ini sebagai pengendali alami menjadi perhatian utama mengingat kerugian signifikan yang dialami petani akibat serangan hama tikus.

Dr Swastiko Priyambodo, Ahli Manajemen Vertebrata Hama dan Ilmu Hama Tumbuhan IPB University ini menjelaskan, keberhasilan Tyto alba dalam mengendalikan tikus di perkebunan sawit perlu ditunjang oleh ketersediaan mangsa yang stabil sepanjang tahun.

“Ketersediaan buah sawit yang berkelanjutan memungkinkan populasi tikus dan predatornya, Tyto alba, untuk terus lestari,” terang dosen Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian (Faperta) IPB University ini.

Namun, lanjutnya, kondisi di ekosistem sawah berbeda signifikan. Populasi tikus sawah cenderung menurun drastis setelah masa panen padi, yang mengakibatkan Tyto alba kehilangan sumber makanan utamanya. 

“Konsekuensinya, burung hantu ini akan mencari alternatif mangsa seperti ular sawah, katak, dan kadal,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Dr Swastiko juga memaparkan tiga prinsip dasar dalam pengendalian hayati: inokulasi (introduksi musuh alami), inundasi (pelepasan musuh alami dalam jumlah besar), dan konservasi (pelestarian musuh alami yang sudah ada).

Menurutnya, gagasan pemerintah untuk menerapkan inundasi melalui pelepasan Tyto alba secara massal, kurang sesuai untuk pengendalian tikus sawah di pertanaman padi.

Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa kehadiran Tyto alba sebagai predator alami tidak berdampak negatif terhadap ekosistem padi. Sebaliknya, burung hantu ini berpotensi memperkaya keanekaragaman hayati agroekosistem sawah. 

“Ini berbeda dengan pengendalian hama secara kimiawi menggunakan pestisida yang seringkali menimbulkan efek merugikan bagi lingkungan,” tambahnya.

Dr Swastiko menekankan bahwa pengendalian hama tikus sawah yang efektif memerlukan strategi yang lebih komprehensif, salah satunya melalui penerapan Trap Barrier System (TBS).

“Metode ini akan mencapai hasil yang lebih optimal jika dikombinasikan dengan teknik lain seperti pengemposan dan gropyokan, yaitu perburuan tikus secara massal setelah panen padi. Kombinasi ketiga metode pengendalian hayati inilah yang saat ini terbukti cukup efektif dalam menekan populasi tikus sawah,” jelasnya.

Ia juga menyarankan penerapan cara kultur teknis, yang meliputi pengaturan waktu tanam dan panen secara serentak antarpetani, rotasi tanaman dengan tanaman palawija, serta pengaturan jarak tanam padi menggunakan sistem jajar legowo.

“Dengan pendekatan terpadu yang mengintegrasikan pengendalian hayati, termasuk peran Tyto alba, dengan TBS dan praktik kultur teknis, diharapkan populasi tikus sawah dapat dikendalikan secara lebih efektif dan berkelanjutan, tanpa menimbulkan kerusakan pada ekosistem pertanian,” pungkasnya. (AS)