Guru Besar IPB University Soroti Perburuan Burung Cenderawasih Kuning-Besar yang Masih Marak Meski Dilindungi

Guru Besar IPB University Soroti Perburuan Burung Cenderawasih Kuning-Besar yang Masih Marak Meski Dilindungi

Guru Besar IPB University Soroti Perburuan Burung Cenderawasih Kuning-Besar yang Masih Marak Meski Dilindungi
Riset

Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (FAHUTAN) IPB University, Prof Ani Mardiastuti, mengungkap kondisi memprihatinkan burung cenderawasih kuning besar (Paradisaea apoda) yang hingga kini masih menjadi target perburuan dan perdagangan ilegal, meski statusnya sebagai satwa dilindungi sudah ditetapkan.

Saat dihubungi melalui telepon seluler (5/5), Prof Ani menjelaskan bahwa burung cenderawasih kuning- besar memiliki ukuran tubuh yang sedikit lebih besar dibandingkan jenis cenderawasih kuning-kecil.

“Burung yang jantan memiliki bulu yang sangat indah, sementara betinanya cenderung biasa saja, seperti burung gagak dengan warna kemerahan,” jelasnya.

Burung cenderawasih kuning-besar diketahui hidup di pedalaman hutan Papua, berbeda dari spesies lain yang bisa ditemukan di pulau-pulau atau wilayah pesisir. Namun, ia mengungkap penelitian terhadap spesies ini masih minim.

Ia juga menambahkan bahwa nama latin Paradisaea apoda berasal dari kesalahpahaman masa lalu ketika burung ini dibawa ke Eropa tanpa kaki akibat cara pengawetan yang tidak tepat. Hal tersebut membuat burung ini dijuluki sebagai ‘burung surga yang tidak berkaki’.

“Burung ini memang istimewa, karena sudah diperdagangkan sejak abad ke-19, sudah sangat lama. Pada masa itu, burung ini menjadi terkenal karena sering dijadikan hiasan di kepala para perempuan bangsawan di Eropa,” ucapnya.

“Semua orang seharusnya sudah tahu bahwa ini burung dilindungi. Tidak boleh dipelihara, diperjualbelikan, bahkan satu helai bulu pun tidak boleh diambil dari alam,” tegas Prof Ani. 

Menurutnya, alasan budaya kerap digunakan sebagai dalih untuk membenarkan kepemilikan atau penggunaan burung ini sebagai hiasan kepala atau cenderamata. 

“Kalau memang untuk ritual adat dan jumlahnya sangat terbatas, itu bisa dimaklumi. Tapi yang tidak bisa diterima adalah ketika cenderawasih ini diperjualbelikan atau untuk cenderamata secara massal,” ujarnya. 

Prof Ani juga menekankan adanya titik temu antara konservasi dan tradisi. “Budaya bisa dilestarikan tanpa harus merusak alam. Misalnya, beberapa komunitas di Kalimantan sudah mulai memakai bulu sintetis sebagai pengganti bulu rangkong dalam upacara adat. Itu bisa jadi contoh,” tuturnya. (dr)