Guru Besar IPB University Ingatkan Bahaya Sound Horeg terhadap Ekosistem Laut

Guru Besar IPB University Ingatkan Bahaya Sound Horeg terhadap Ekosistem Laut

Guru Besar IPB University Ingatkan Bahaya Sound Horeg terhadap Ekosistem Laut
Riset dan Kepakaran

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Dietriech G Bengen, menyatakan bahwa dampak “sound horeg” di tengah laut bisa mengancam ekosistem laut. Pernyataan ini disampaikan ketika diminta tanggapannya mengenai dampak polusi suara terhadap kehidupan laut.

Ia mengatakan, suara bising di laut, termasuk dari sound horeg, sonar, lalu lintas kapal, dan aktivitas industri, terbukti merusak ekosistem laut secara serius. 

Menurut Prof Dietriech, kebisingan laut tidak hanya mengganggu perilaku hewan laut secara langsung, tetapi juga berdampak jangka panjang terhadap reproduksi, migrasi, komunikasi, dan kesehatan fisiologis berbagai spesies laut. 

“Suara keras seperti sound horeg bisa membuat ikan kebingungan, stres, bahkan gagal bereproduksi,” ujarnya.

Ikan dan larva ikan disebut sangat rentan terhadap suara bising. Gangguan ini meliputi stres hormonal, deformasi larva, hingga kegagalan pemijahan karena komunikasi yang terganggu. 

Mamalia laut seperti paus dan lumba-lumba juga terdampak. “Mereka mengandalkan ekolokasi untuk bernavigasi. Kebisingan bisa membuat mereka tersesat, bahkan mengalami trauma akustik,” jelasnya.

Tak hanya hewan bergerak, terumbu karang dan invertebrata juga mengalami kerusakan akibat ledakan bawah laut dan gelombang suara intens. Suara bising mengganggu proses metamorfosis larva karang serta memutus “soundscape” alami yang digunakan larva untuk menetap.

“Penelitian ilmiah mendukung temuan ini. Studi Jepson et al. (2003) menunjukkan sonar militer menyebabkan paus terdampar karena pendarahan organ dalam. Sementara studi lain oleh Simpson et al. (2015) dan Radford et al. (2007) menunjukkan perubahan perilaku ikan dan gangguan rekrutmen larva akibat kebisingan,” urainya.

Prof Dietriech juga menyoroti dampak kebisingan terhadap sektor perikanan. Suara keras membuat ikan seperti tuna dan kerapu menjauh dari daerah tangkap tradisional, meningkatkan biaya operasional nelayan. Gangguan terhadap pemijahan ikan budi daya seperti kerang dan tiram juga dapat menurunkan produktivitas.

Untuk itu, ia mengimbau kolaborasi lintas pihak perlu diupayakan dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemerintah daerah dan desa pesisir, komunitas diving dan wisata bahari, serta universitas melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik laut.

“Perlunya edukasi publik dan nelayan mengenai bahaya polusi suara laut. Perlu ada sosialisasi, pelatihan teknis, dan penerapan zona tenang laut. Edukasi masyarakat harus berbasis lokal dan berkelanjutan,” tegasnya.

Kampanye publik seperti “Laut Butuh Sunyi untuk Tetap Hidup” dan pembentukan zona akustik sensitif di wilayah habitat laut menjadi langkah penting dalam menjaga kesehatan ekosistem laut dari ancaman kebisingan. (dh)