Enam Guru Besar IPB University Sampaikan Masukan RUU Pangan ke Komisi IV DPR RI

Enam Guru Besar IPB University Sampaikan Masukan RUU Pangan ke Komisi IV DPR RI

Enam Guru Besar IPB University Sampaikan Masukan RUU Pangan ke Komisi IV DPR RI
Berita

IPB University menerima kunjungan kerja dari Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Kamis (8/5). Kunjungan ini dalam rangka penjaringan masukan awal terhadap penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Dalam kesempatan itu, enam guru besar IPB University masing-masing menyampaikan pandangan strategis untuk memperkuat sistem pangan nasional yang berkelanjutan, mandiri, dan berdaulat.

Ketua Komisi IV DPR RI, Siti Hediati Soeharto, SE menegaskan pentingnya penyusunan RUU ini sebagai bagian dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. 

“Kami menyelenggarakan focus group discussion (FGD) untuk menjaring pendapat para akademisi. IPB University menjadi lembaga pertama yang kami datangi karena kontribusi dan reputasinya yang sangat besar di bidang pangan,” ujarnya.

Wakil Rektor IPB University bidang Riset, Inovasi, dan Pengembangan Agromaritim, Prof Ernan Rustiadi menyambut rombongan Komisi IV dan memaparkan sejumlah tantangan pangan nasional saat ini.

“Sistem pangan nasional harus menghadapi megadisrupsi seperti perubahan iklim, pandemi, hingga konflik geopolitik. IPB University siap berkontribusi dalam menyusun RUU Pangan berbasis riset dan inovasi,” kata Prof Ernan.

Perspektif Enam Guru Besar IPB University

Berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi ketahanan gizi nasional, para akademisi IPB University lintas bidang tersebut menekankan pentingnya pendekatan menyeluruh terhadap sistem pangan. Mulai dari aspek produksi, distribusi, hingga konsumsi dan pemenuhan gizi masyarakat.

Prof Drajat Martianto, Kepala Lembaga Riset Internasional Pangan, Gizi, dan Kesehatan menekankan bahwa sistem pangan harus mencakup aspek produksi hingga konsumsi dan status gizi masyarakat. 

“RUU ini harus menyentuh akar persoalan dari sawah sampai ke meja makan,” katanya. Ia menyampaikan beberapa usulan utama, yaitu penguatan produksi pangan lokal, cadangan pangan, akses gizi rumah tangga miskin, serta perlindungan terhadap redistribusi pangan layak konsumsi.

Sementara itu, Prof Bayu Krisnamurthi menyoroti pentingnya menjadikan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai bagian integral dari sistem pangan nasional. Dengan demikian, definisi pangan mesti dimaknai lebih luas, dari yang semula hanya dipandang sebagai komoditas, menjadi satu kesatuan yang terintegrasi dengan kebutuhan gizi masyarakat. 

Pakar Kebijakan Agribisnis IPB University ini menyamakan konsep integral ini dengan “nasi rames”. Artinya, istilah pangan semestinya bermakna hanya jika lengkap dan seimbang kandungan gizinya.

“Negara-negara maju sudah lebih dulu meninggalkan konsep pangan sebagai komoditas. Kita juga harus bergerak ke arah sana: bahwa pangan adalah gizi,” tegasnya.

Prof Luki Abdullah dari bidang peternakan menyampaikan bahwa alokasi lahan untuk peternakan di Indonesia masih sangat minim. “Kalau sawit bisa punya kawasan khusus, kenapa pangan tidak? Kita butuh kawasan biomassa dan peternakan,” ujarnya. Ia juga mengusulkan agar RUU Pangan mengatur kawasan pascatambang sebagai ruang produksi baru.

Di aspek agronomi, Prof Edi Santosa menggarisbawahi pentingnya kepemilikan dan konsolidasi lahan. “Tanpa lahan, tidak akan ada pangan,” tegasnya. Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura IPB University ini juga mengusulkan model subsidi berbasis hasil, pendidikan pangan sejak dini, dan pembentukan sistem informasi pangan nasional. 

“Petani bisa melaporkan hasil panen melalui aplikasi, sehingga surplus dan defisit pangan dapat dimonitor secara akurat,” ujarnya saat mengusulkan pembentukan sistem informasi pangan nasional.

Di lain sisi, Guru Besar Kesehatan Hewan, Prof Bambang Purwantara menyampaikan urgensi revitalisasi Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) dan penguatan balai pembibitan ternak. Ia juga menyoroti pentingnya penyediaan protein hewani dari dalam negeri.

“Jika kita bicara pangan, itu bukan hanya soal bahan pokok, tetapi juga lauk-pauk seperti daging, telur, dan susu,” ungkapnya.

Prof Yonvitner sebagai Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) juga menegaskan pentingnya perhatian terhadap sektor perikanan, terutama kepada nelayan kecil.

“Saat ini kita hanya mampu memenuhi kebutuhan protein laut untuk delapan bulan. Ini krisis. Artinya, untuk memperkuat ketahanan pangan nasional, dukungan terhadap nelayan kecil dan sektor budi daya harus ditingkatkan,” ujar Guru Besar Kelautan IPB University ini. 

Ia mengusulkan strategi swasembada protein laut melalui budi daya laut dangkal dan penataan ulang sistem distribusi hasil perikanan. (Fj)