Ekonom Syariah IPB University Dorong Optimalisasi ‘Green Zakat’ untuk Hadapi Krisis Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
Paradigma green zakat mulai digaungkan sebagai solusi inovatif dalam menghadapi krisis iklim global. Konsep ini mendorong penyaluran zakat tidak hanya untuk bantuan konsumtif, tetapi juga untuk mendukung inisiatif ekonomi hijau seperti pertanian organik, energi terbarukan, serta rehabilitasi lingkungan.
Pernyataan ini disampaikan Dr Irfan Syauqi Beik, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University dalam wawancara Radio Smart FM (12/5).
Dr Irfan menjelaskan, keterlibatan lembaga zakat dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi sangat penting, mengingat dampak krisis iklim global yang semakin nyata.
“Jika Indonesia tidak segera menurunkan emisi karbon, pada tahun 2070 negara ini berisiko kehilangan hingga 30 persen produk domestik bruto (PDB). Kerugian ekonomi akibat perubahan iklim dapat memicu persoalan sosial lebih luas, mulai dari meningkatnya pengangguran, menurunkan pendapatan hingga ancaman ketahanan pangan,” ujarnya.
Dalam konteks ini, ia berujar, zakat yang memiliki potensi mencapai Rp327 triliun dapat menjadi katalis pembangunan hijau melalui program-program ramah lingkungan. Dr Irfan juga menekankan pentingnya kesadaran di kalangan muzakki agar harta yang dizakatkan berasal dari sumber yang tidak merusak lingkungan.
“Zakat harus mendorong pemberdayaan masyarakat melalui usaha-usaha yang halal dan ramah lingkungan. Misalnya, dalam sektor kuliner, jangan hanya fokus pada sertifikasi halal, tetapi juga penting memperhatikan aspek minimisasi sampah plastik dan penggunaan energi bersih,” tambahnya.
Ia mengapresiasi inisiatif kolaboratif seperti Green Zakat Framework yang melibatkan berbagai institusi, termasuk perbankan syariah seperti Bank Syariah Indonesia (BSI), Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), hingga lembaga internasional seperti United Nations Development Programme (UNDP) yang bertujuan memberikan panduan implementasi zakat dalam konteks keberlanjutan lingkungan.
“Kolaborasi yang melibatkan pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat, dan media dinilai menjadi kunci untuk menyukseskan transformasi zakat menjadi instrumen pembangunan berkelanjutan,” ucapnya.
Menurutnya, framework ini mencakup definisi, peran stakeholder, hingga rekomendasi kebijakan agar zakat tidak hanya mengurangi kemiskinan tetapi bisa menjadi instrumen yang mendukung perlindungan lingkungan (hifzhul bi’ah), yang kini menjadi maqasid syariah (tujuan syariat) keenam.
Lebih lanjut, Dr Irfan menggarisbawahi pentingnya peran lembaga zakat sebagai first buyer atau pembeli pertama dari produk ramah lingkungan yang dihasilkan mustahik. Hal ini menjadi bagian dari strategi pemberdayaan akar rumput yang komprehensif, dari hulu hingga hilir.
Ia juga mendorong seluruh lembaga zakat dan institusi syariah untuk mengadopsi framework ini dan menjadikannya gerakan bersama.“Kesadaran green culture harus dibangun, bukan hanya sebagai konsep, tetapi juga budaya yang dijalankan bersama. Green zakat adalah bagian dari transformasi zakat menuju instrumen perubahan sosial dan lingkungan,” pungkasnya. (Fj)
