Karaginan, Prospektif sebagai Bahan Baku Biofilm

Dewasa ini, masyarakat semakin sadar akan keterbatasan sumberdaya alam dan masalah lingkungan. Hal ini mendorong meningkatnya penggunaan bahan alami yang bersifat terbarukan, mudah terurai secara biologis, dan ramah lingkungan.
Polimer berbahan dasar petro-kimia saat ini sudah banyak tergantikan dengan penggunaan biopolimer yang bersifat terbarukan seperti polisakarida dan juga protein. Biopolimer tersebut dapat berasal dari sumberdaya alam, limbah industri pengolahan pangan, maupun hasil samping pertanian.
Salah satu sumber alam untuk dijadikan biopolimer adalah karaginan. Karaginan merupakan polisakarida sulfat yang diekstrak dari beberapa spesies rumput laut merah (Rhodophyceae). Penelitian tentang biopolimer berbahan dasar karaginan dan evaluasi karakteristiknya sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian biofilm berbahan dasar karaginan masih sangat terbatas di Indonesia.
Berangkat dari persoalan tersebut, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK IPB), Prof. Dr. Joko Santoso meneliti karakteristik biofilm berbahan dasar karaginan. Prof. Joko bersama tim mencoba mempelajari proses ekstraksi untuk menghasilkan karaginan dengan karakteristik yang sesuai sebagai biofilm.
Menurut Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FPIK IPB ini, penelitian ekstraksi karaginan telah dilakukan sebelumnya dengan fokus pada mutu karaginan secara umum, bukan sebagai bahan biofilm. Untuk itu, diperlukan kajian khusus proses ekstraksi untuk menghasilkan karaginan dengan sifat-sifat yang sesuai sebagai bahan dasar biofilm.
Dalam penelitian ini, karaginan diekstraksi menggunakan KOH 0,5 ; 1 ; dan 1,5 persen dengan lama ekstraksi satu, dua dan tiga jam. Karaginan yang diekstraksi menggunakan KOH 0,5 persen selama satu jam mampu memberikan sifat-sifat terbaik untuk digunakan sebagai bahan dasar biofilm. Biofilm berbahan dasar karaginan pada konsentrasi 1,5 persen memiliki karateristik terbaik dalam kekuatan tarik, persen pemanjangan, serta struktur internal polimer yang lebih kompak dan lebih padat.
“Kami tentu berharap hasil penelitian ini bisa menjadi salah satu solusi bagi masyarakat sebagai alternatif film pengganti plastik. Namun, tentu diperlukan kajian lebih lanjut dalam penyempurnaan karakteristik biofilm yang dihasilkan,” ujar Prof. Joko.
Sebagai informasi, Balai Besar Pengujian Penerapan Hasil Perikanan (BBP2HP) telah melakukan rekayasa dodol Garut yang diberi edible film melalui proses coating. Proses ini mampu memberikan nilai tambah yang tinggi yaitu umur simpan yang lebih panjang dengan penampakan yang berkilau.
“Ke depan topik ini menjadi penting dan menarik seiring dengan kesadaran masyarakat tentang lingkungan, masalah sampah, dan juga kesehatan sehingga biofilm sebagai active packaging menjadi salah satu solusi berkenaan dengan hal tersebut,” ujar Prof. Joko.
Selain itu, Prof. Joko dan tim juga melakukan depolimerisasi karaginan yaitu dikecilkan berat molekulnya sehingga memudahkan dalam aplikasinya terkait dengan peningkatan kelarutan. “Kami dengan tim yang diketuai Dr. Eng. Uju Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK IPB mengekstraksi pigmen dari rumput laut dan setelah itu diekstraksi karaginannya,” tandas Prof. Joko. (NIRS/ris)