Bahas Ekologi dan Sosial di Lahan Sawit, IPB Hadirkan Pakar Ekologi dari Jerman

Sawit saat ini menjadi salah satu komoditas unggulan yang menunjang perekonomian nasional. Dalam perjalanannya, industri kelapa sawit dan produk turunannya terus mendapat tekanan dari pihak luar. Tekanan tersebut berkaitan dengan permasalahan ekologi di sekitar kebun sawit sehingga mengancam kehidupan flora dan fauna di sekitar perkebunan tersebut.
Upaya-upaya untuk menyelamatkan kelestarian flora dan fauna di sekitar perkebunan sampai saat ini sudah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya adalah pembuatan hutan di antara perkebunan sawit yang bertujuan menyediakan habitat bagi satwa-satwa hutan.
Terkait hal tersebut, Institut Pertanian Bogor (IPB) menghadirkan pakar dari Gottingen University untuk membahas dampak ekologi dan sosial-budaya di sekitar perkebunan sawit. Pemaparan hasil penelitian yang disampaikan pada Rabu (6/3) di Kampus IPB Dramaga, Bogor mengambil studi kasus perkebunan sawit di Jambi, Sumatera.
Dalam seminar tersebut dibahas tentang dampak ekologi dan sosial-ekonomi di sekitar perkebunan sawit. Di kesempatan yang sama, diberikan juga rekomendasi pengelolaan kelapa sawit yang baik.
Dr. Kevin Darras (Dept. Of Crop Sciences, Agroecology, Gottingen University) menjelaskan bahwa lahan sawit yang dikelola dengan mengurangi penggunaan bahan kimia dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas kelapa sawit secara kontinyu. Ia mencontohkan, lahan sawit yang dipupuk menggunakan bahan organik dapat menghasilkan buah kelapa sawit yang berkualitas.
Tidak hanya meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil, dengan menggunakan bahan organik dapat meningkatkan biodiversitas organisme tanah dan menjaga kesuburan tanah. Keberadaan organisme tanah yang melimpah, dapat mendukung proses penyemaian secara mekanis sehingga bibit kelapa sawit dapat tumbuh secara optimal.
“Perlu dipertimbangkan juga dalam penggunaan lahan perkebunan sawit, terutama pembagian lahan dan penghematan lahan sehingga tidak terjadi deforestasi hutan,” tutur Dr. Kevin.
Berbeda dengan Dr. Kevin, Dr. Clara Zemp (Biodiversity, Macroecology and Biogeography) lebih merekomendasikan untuk menerapkan sistem agroforestri di dalam perkebunan sawit. Menurutnya, dengan menerapkan sistem agroforestri di perkebunan sawit, dapat meningkatkan keanekaragaman dan kekayaan biodiversitas di perkebunan tersebut. Peningkatan keanekaragaman biodiversitas yang dimaksud adalah keanekaragaman burung, serangga, kelelawar, biji, dan tanaman.
Sistem agroforestri yang bisa dilakukan di perkebunan sawit adalah dengan menanam tanaman jengkol, durian, petai, jelutung, dan meranti. Dengan menanam tanaman tersebut, tidak hanya dapat meningkatkan keanekaragaman biodiversitas, tetapi dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar perkebunan.
“Dengan menanam jengkol, petai, durian, dan lainnya, ibu-ibu rumah tangga bisa memanfaatkan waktunya untuk memanen buah-buah tersebut dan menjualnya. Hasil penjualan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” pungkas Dr. Clara.
Tanaman tersebut, lanjut Dr. Clara, hanya sebagai contoh saja dan dapat diganti dengan tanaman lain sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan masyarakat di sekitar perkebunan sawit. (Rosyid/Zul)