Prof.Dr.Ir Sulistiono: Selamatkan Habitat Ikan di Wilayah Estuari

Prof.Dr.Ir Sulistiono: Selamatkan Habitat Ikan di Wilayah Estuari

Prof-Sulistiono
Berita
Wilayah pertemuan antara sungai dan laut secara umum dinamakan estuari. Point penting estuari adalah lokasi tempat bertemunya air laut dan air tawar. Lokasi estuari penting karena dari daratan membawa sumber hara yang baik untuk laut, tetapi bisa juga membawa sumber pencemaran. 
 
Fluktuasi parameter lingkungan estuari terutama salinitas dan musim menjadi faktor penentu distribusi ikan di wilayah tersebut. Setiap musim berganti, komposisi, ukuran dan jumlah ikan yang mendiami wilayah tersebut juga berganti. Pada musim tertentu dijumpai benih/ikan ukuran besar (ikan sudat, ikan lundu, ikan kakap, ikan belanak dll) dan pada saat yang lain benih/ikan ukuran besar tersebut berkurang atau bahkan tidak ada. Oleh karena itu lingkungan dan perairan estuari patut diperhatikan secara serius.
 
Hal ini disampaikan oleh Prof.Dr.Ir Sulistiono, Guru Besar Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam konferensi pers pra Orasi Ilmiah di Exlounge Kampus IPB Baranangsiang, Bogor (30/7). Dari hasil risetnya yang dilakukan selama 15 tahun (sejak tahun 2000), Prof. Sulis mengatakan estuari bisa dibilang rumah sakit bagi ikan. Biasanya ikan laut melakukan pemijahan di estuari.  
 
Prof. Sulis meneliti wilayah estuari di Jawa dan Papua. Berdasarkan hasil penelitian secara umum, suhu, kekeruhan, pola pasang surut, nitrat, dan oksigen menunjukkan nilai yang masih ditoleransi. Ada beberapa yang tercemar logam berat cukup tinggi. 
 
“Ternyata estuari mengandung kandungan ikan yang banyak, sekira 130 spesies dimana 53 jenis memiliki nilai ekonomi yang penting dan 12 jenis prospektif dikembangkan di Indonesia karena mengandung taurin (untuk industri obat),” ujarnya.
 
Prof. Sulis mencontohkan beberapa manfaat ikan estuari yang ditemukannya yakni ikan belodok (belum dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber aprodisiak), ikan janjan berisik (kandungan gizi sangat besar), ikan diadromous (hanya hidup di estuari), ikan kresek, ikan tembang, ikan belanak, ikan betok, dll. “Ikan rejum, komoditas penting di Jepang sebagai bahan dasar menu hoka bento atau tempura, 1 kilogram harganya 450 ribu rupiah,” tuturnya.
 
Menurutnya, pemerintah belum banyak menyentuh wilayah estuari. Padahal kalau tercemar maka laut akan tercemar, anak-anak ikan yang menetas di estuari akan mati dan tidak bisa kembali ke laut. Selain itu banyaknya bendungan yang dibangun di Indonesia juga diyakini akan mempengaruhi.
 
Prof. Sulis menawarkan pengelolaan alternatif yang dinamakan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat dan Ekosistem yang Berkelanjutan yang terdiri dari lima pilar: 1, Pemanfaatan Potensi Perikanan Skala Kecil; 2. Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem; 3. Pemantauan Sumberdaya Perikanan; 4. Pengembangan Ekonomi Nelayan dan Penguatan Kelembagaan; 5. Domestikasi dan Pengembangan Budidaya.
 
“Saran saya, pembangunan apapun dampaknya harus diperhatikan,” tandasnya.(zul)