Pakar IPB: Rotan Dongkrak Devisa Negara

Pakar IPB: Rotan Dongkrak Devisa Negara

Nikmatin
Berita

Tak dapat dipungkiri, Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar, dengan memberikan sumbangan 85 persen kebutuhan rotan dunia. Bahkan, pasokan bahan mentah rotan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2009, tercatat produksi rotan Indonesia mencapai 556.000 ton tiap tahun dengan nilai ekspor 526.000 ton tiap tahun. Sedangkan, tahun 2010 produksi rotan mencapai 696.000 ton tiap tahun dengan nilai ekspor 684.000 ton pertahun. Tahun 2012, Indonesia menghasilkan lebih dari 1 juta ton setahunnya. Namun, kebutuhan industri rotan Indonesia hanya 25 persen sehingga 75 persen sisa rotan yang tidak termanfaatkan dengan maksimal. Potensi tersebut disampaikan Dosen Departemen Fisika FMIPA IPB, Dr Siti Nikmatin dalam siaran pedesaan RRI Bogor, belum lama ini.

“Inovasi rekayasa material menggunakan nanoteknologi dengan pemanfaatan hasil pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan berbasis sumber daya lokal merupakan fokus penelitian yang saya kembangkan,” ujarnya.

Menurutnya, material yang baik mempunyai peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Hal tersebut, dapat diwujudkan melalui kontribusi nyata dalam menghasilkan karya untuk mendorong percepatan ekonomi kearah menyelamatkan lingkungan, peningkatan nilai tambah pertanian sebagai bahan baku industri, daya saing produk impor, sumber devisa negara, dan berujung pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Lebih lanjut Siti Nikmatin dalam siaran pedesaan yang dipandu Marisa ini mengatakan, rotan merupakan salah satu sumber hayati Indonesia komoditas hasil hutan non-kayu. Ia menambahkan, penghasil devisa negara, melalui ekspor, dan memberi kehidupan bagi berjuta-juta rakyat Indonesia yang umumnya tersebar di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.

Peran industri kerajinan Indonesia, hanya mampu menguasai 2,9 persen pasar dunia dengan pertumbuhan 7 persen pertahunnya. Sementara, Cina bisa tumbuh 11 persen dan Jerman 9 persen (APRI, 2012). “Masih terdapat kelebihan rotan ditingkat petani dan industri yang tidak terserap,” kata Siti Nikmatin.

Kelebihan tersebut, katanya, menimbulkan masalah yaitu industri mebel rotan Indonesia tidak mampu menyerap seluruh bahan baku rotan yang ada. Tak hanya itu, sisa rotan mentah diekspor ke pasar dunia secara ilegal dengan menekan harga jual rotan mentah, harga jatuh, petani dirugikan dan perekonomian industri rotan sulit untuk berkembang dan posisi petani dirugikan.

Di Indonesia khususnya Cirebon, produk kerajinan dan mebel rotan sangat diakui kualitasnya baik di dalam ataupun di luar negeri. Namun, potensi tersebut belum dapat memberikan optimasi penggunaan rotan yaitu tidak terserapnya rotan di tingkat petani ke industri rotan dan rendahnya market produk jadi rotan sehingga terjadi penurunan omzet.

Yang disayangkan, sampai saat ini limbah rotan sangat melimpah dan belum ada pemanfaatan secara optimal selain dibakar. Karena itu, perlu adanya inovasi untuk diversifikasi produk rotan dan memanfaatkan biomassa rotan menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Bergejolaknya permasalahan ekspor rotan jadi dan mentah, terjadi karena adanya kebijakan pemerintah yang melarang ekspor rotan mentah. Kepentingan supplier bahan baku yang tidak sejalan dengan industri pengolahannya, menjadi salah satu masalah. Seharusnya, katanya, posisi Indonesia sebagai penghasil utama rotan dunia, menjadi keuntungan bagi industri kerajinan dan furniture rotan, paling tidak dari sisi kedekatan sumber bahan baku ke lokasi industri.

Untuk mengatasi sekian banyak permasalahan tersebut, harus ada suatu optimasi pemanfaatan rotan dengan suatu inovasi yang disertai dengan teknologi. Salah satunya, mengubah bentuk rotan menjadi serat berukuran short fiber, mikrofiber atau nanopartikel yang berfungsi sebagai filler komposit menggantikan filler sintetis.

“Produksi serat menggunakan kulit, batang dan limbah rotan yang diproses dengan metode sederhana  dapat diserap dan diadopsi UKM di Cirebon serta di scale up oleh industri komposit plastik,” tuturnya.

Serat rotan dapat dibuat dengan alat milling-shaker menghasilkan ukuran mili, mikro dan nanometer sesuai dengan kebutuhan produk hilir, kemudian dibuat granular komposit dengan matrik polimer, lalu dicetak sesuai dengan kebutuhan pasar.

Produk akhir inovasi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah terkait sifat struktur mikro, fisis dan mekanis guna menggantikan serat sintetis dalam reinforce matrik polimer dengan beberapa keuntungan dibandingkan fiber glass.

Siti Nikmatin bahkan menegaskan, kebutuhan Indonesia terhadap serat sintetis sangat besar seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk setiap tahunnya, yang ironisnya kebutuhan tersebut 80 persen masih impor. Padahal, menurutnya, serat sintetis merupakan material tidak ramah lingkungan yang dapat digunakan pada beberapa aplikasi filler, diantaranya peralatan olah raga, komponen otomotif, bahan bangunan, dan lain-lain.

“Untuk itu, sebagai seorang akademisi dan peneliti di bidang rekayasa material IPB, berkewajiban untuk terus berkarya untuk berkontribusi menyelesaikan permasalahan bangsa Indonesia dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam dan memberikan solusi terhadap pemanfaatan limbah menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi tinggi,” ungkapnya.

KURANGI KETERGANTUNGAN IMPORT

Dengan bertambahnya fungsi rotan menjadi bionanokomposit yang dikemas dengan teknologi, maka permasalahan akan ekspor rotan dan kerugian petani dapat diatasi. Kelebihan supply rotan, tidak perlu di ekspor dengan harga murah. Akan tetapi, seyogyanya diolah di dalam negeri, agar petani tidak dirugikan, kesejahteraan petani meningkat, bahan baku industri kerajinan rotan dalam negeri tetap terpenuhi, budidaya rotan juga dapat terus ditingkatkan, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang mandiri.

Siti Nikmatin juga menegaskan, penutupan pasar ekspor rotan mentah akan membuat produk substitusi inovatif dan differensiasi produk akan datang dari Indonesia dengan bahan baku yang melimpah di negeri sendiri dan industri kita akan bersaing dengan pasar dunia. (wrw).