PPLH IPB Kupas Implementasi Kriteria Kelayakan dan Izin Lingkungan

PPLH IPB Kupas Implementasi Kriteria Kelayakan dan Izin Lingkungan

Berita
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH), Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM), Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama PT. EOS Consultant, dan Sky Pasific Indonesia menyelenggarakan pertemuan Forum Amdal Indonesia (FAI) ke-18 dengan tema “Mengupas Implementasi Kriteria Kelayakan dan Izin Lingkungan” di Lantai 4 Gedung Alumni IPB Baranangsiang Bogor (12/6). Kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari ini diikuti sekitar 31 peserta. Forum ini terdiri dari beberapa stakeholders yang terkait dengan analisis dampak lingkungan (Amdal) mulai dari pemrakarsa, industri, konsultan, praktisi lingkungan, pemerintah dan komisi. Pertemuan dibuka oleh Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto.
 
Penerbitan izin lingkungan di tingkat pusat (KLH) sekarang ini sudah berjalan sebagaimana mekanisme yang diatur dalam PP No 27 tahun 2012. Namun penerapan izin lingkungan di tingkat daerah sangat berbeda. Ada daerah yang memberikan kelonggaran bahwa walaupun belum ada izin lingkungan, namun pelaku usaha sudah diperkenankan melakukan kegiatan usahanya. Di sisi lain, para aparat penegak hukum di daerah menginterpretasikan bahwa izin lingkungan adalah harga mati, artinya pelaku usaha belum boleh melakukan kegiatan usahanya jika belum mengantongi izin lingkungan.
 
Kepala PPLH LPPM IPB, Dr.Ir. Hefni Effendi, M.Phil, menyatakan, “Kesenjangan ini perlu dicarikan jalan keluarnya oleh KLH, mengingat hal ini akan membuat para pelaku usaha di daerah menjadi ambigu.  Dengan spirit ingin menepis bahwa izin lingkungan justru memperpanjang birokrasi lingkungan, maka permasalahan penerapan izin lingkungan di daerah ini harus menjadi perhatian utama KLH, sehingga ada kepastian hukum bagi para pelaku usaha”.
 
Kepala LPPM IPB, Dr. Ir. Prastowo M. Eng menyatakan, “Persoalan besar sekarang ini Amdal sebagai salah satu perangkat manajemen lingkungan apakah sudah efektif dalam mengelola dan menjaga lingkungan? Pertama, harus adanya komitmen mulai dari pemerintah dalam menegakkan peraturan dan perundangan lingkungan. Dalam hal ini kalau lebih operasional komitmen komisi amdal dan komitmen pemrakarsa juga penting bagaimana mereka komitmen dengan dokumen amdal yang disusun.  Kedua, kualitas dokumen Amdal sebagai perangkat manajemen lingkungan. Apabila dokumen sudah berkualitas dan stakeholdersnya berkomitmen baru dokumen Amdal itu efektif sebagai salah satu perangkat manajemen lingkungan di dalam perannya melakukan pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan pedoman baik dalam menyusun, dalam menulis, dan melaksanakan sehingga komitmen dan kualitas dapat dihasilkan”, tambah Dr. Prastowo
 
Dr. Bima Arya  menyatakan, “Kita sudah mencanangkan bahwa Bogor harus menjadi kota yang ramah lingkungan dengan berlandaskan pembangunan berkelanjutan. Pertama, pembenahan dari aturan yang ada, evaluasi Perda dan Perwali yang ada dan bagaimana kita betul-betul melakukan penegakan hukum. Amdal prosesnya harus sesuai, tidak boleh ada permainan di situ, dan kita akan menindak dengan keras praktek-praktek kolutif yang bisa merusak lingkungan.  Harapannya kalau bisa Bogor menjadi pionir dari kota yang menjalankan semua prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Kita ingin kembali ke masa-masa kejayaan Bogor sebagai kota ramah lingkungan. Saya dan banyak warga menunggu forum ini bisa berkontribusi untuk menyelarasakan visi dan misi pemerintah kota Bogor 2014-2019 yang sebagian besar sarinya adalah kota ramah lingkungan dengan pembangunan berkelanjutan. Saya sering sampaikan kita ingin ubah stigma Bogor dari kota sejuta angkot menjadi kota sejuta taman, dari surga kaki lima menjadi surga pejalan kaki. Tentunya 
itu memerlukan dukungan bapak ibu sekalian dari Forum Amdal Indonesia“. (RF)