Perjalanan dilakukan selama sembilan bulan meliputi delapan provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB,NTT, Aceh, Kalimantan Barat, Maluku, dan Sulawesi. Ekspedisi ini memotret secara naratif dan gambar proses-proses pemiskinan perempuan akibat diskriminasi gender. Perjalanan ini melahirkan sejumlah catacan. Diluar isu diskriminasi yang biasanya ditemukan dalam studi-studi tentang perempuan dan pemiskinan, penelitian ini menangkap vibrasi perlawanan, ketahanan, dan emansipasi perempuan dalam menolak lemiskinan mereka. Mendokumentasikan gambaran pemiskinan perempuan yang kemudian diterbitkan dalam bentuk coffee table book dengan judul “MENOLAK TUMBANG NARASI PEREMPUAN MELAWAN PEMISKINAN” yang ditulis oleh Lies Marcoes Natsir, Peneliti Gender dan Konsultan Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ). Kegiatan diskusi bedah buku dan pameran foto ini diselenggarakan oleh kelompok diskusi Ekologi Kebudayaan dan Pembangunan, DepartemenSains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (SKPM FEMA IPB) bekerjasama dengan Rumah Kitab, Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA-IPB), dan Sajogyo Institute, diselenggarakan pada hari Kamis (12/5) di ruang pertemuan Departemen SKPM FEMA IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor.
Lies mengatakan,“IPB berharap bisa melanjutkan studi tentang pergeseran pemiskinan dari dunia pertanian bagi para perempuan, sebetulnya IPB yang pertama melihat dan memulaikegiatan semacam ini dan sudah waktunya juga bagi IPB melanjutkan program gender terhadap perempuan ini,” tandasnya.
Lies melanjutkan, pemiskinan terkait erat dengan kekerasan terhadap hak-hak dasar manusia yang seharusnya dilindungi oleh hukum. Potret dan kish-kisah yang dikumpulkanmemperlihatkan hubungan yang kuat antara diskiriminasi berbasis gender, pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, dan pemiskinan. Kisah-kisah ini juga menegaskan bahwa pemiskinan tak bisa dipahami hanya melalui statistik kemiskinan atau pendekatan ekonomi sebagai solusi. “Mereka melakukan perlawanan melalui berbagai cara dengan resiko yang harus mereka tanggung sendiri, bekerja lebih keras, bernegosiasi setiap hari, membuat kesepakatan-kesepakatan rahasia dengan anak perempuan dan ibu mereka, juga melakukan ‘ketundukan semu’ kepada budaya patriaki dengan cara-cara yang cerdik,” tutur Lies.
“Kebutuhan akan produk dan sistem hukum yang adil gender ini sangat mendesak karena penolakan atas ‘pemberontakan’ perempuan terhadap diskriminasi gender kerap melahirkan gelombang ‘fundamentalisme’ yang melumpuhkan. Dalam waktu bersamaan, upaya reformasi hukum formal juga harus memberikan perhatian pada resiko pelemahan relasi gender dalam hukum yang harus melanggengkan praktik diskriminasi,”paparnya.
Dalam rangka peluncuran buku ini, Lies hendak mendiskusikan lebih jauh kemungkinan sistem hukum menjadi penyangga pemberdayaan perempuan agar keluar dari kemiskinan akibat diskriminasi gender. Sehingga targettersosialisasikan dengan hasil temuan lapangan soal pemiskinan sebagaimana terdokumentasikan dalam buku dan terpetakannya peluang dan tantangan bagi sektor hukum untuk mengatasi pemiskinan dan faktor-faktor yang menyebabkannya dengan penghapusan praktik diskriminasi gender.
Kemudian pembahas yang juga merupakan Guru Besar Komunikasi Gender Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, Prof. Dr. Aida Vitayala, S. Hubeis, mengatakan “Buku Menolak Tumbang Narasi Peremuan Melawan Kemiskinan sudah sepantasnya mendapat dua acungan jempol karena telah berhasil memotret ‘kemiskinan dan pemiskinan perempuan’ dari kasus demi kasus di delapan wilayah republik tercinta Indonesia. Kisah demi kisah perjuaangan melawan kemiskinan dan pemiskinan yang dipotret dari berbagai dimensi kehidupan membuat saya bergidik mengingat semua temuan tersebut sudah lama bercokol di republik ini tanpa ada perubahanyang signifikan. Dan hukum positif yang sudah ada perlu ditegakkan dengan benar dan jujur. Pertanyaannya apakah mungkin jika hukum dapat diperjualbelikan dan penegak hukum pun belum semua sadar tentang makna DISKRIMINASI GENDER. Lalu kekuatan organisasi manakah yang dapat mempercepat capaian ini? Komnas-komnas? Tanpa perlakuan ini, sampai kapan pun, kita kaum permpuan akan berperang sendirian atau bahkan bukan hanya melawan perilaku patriaki kaum lelaki tetapi juga melawan keajegan budaya putih, budaya melayani, dan budaya unselfish yang masih kuat mengakar dalam sanubari kebanyakan kaum perempuan,” jelasnya. Sebagai penutup ia menjelaskan, “Perjuangan melawan kemiskinan dan pemiskinan merupakan suatu kewajiban. Ajakan Lies untuk membangun sistem hukum yang berkeadilan perlu ditindaklanjuti dengan pembelajaran ke masyarakat mulai dari keluarga, sekolah, organisasi, birokasi, politis, akademisi tentang isu dan fakta bahwa kemiskinan dan pemiskinan adalah pemicu kesenjangan dan ketimpangan gender,” tandasnya.
Pembahas yang ke dua dari Sajogyo Institute, Devi Anggraini, hampirsama dengan yang di katakan oleh Prof. Aida, intinya isi tulisan ini sungguh luar biasa mengajak pembaca untuk melihat sekeliling kita, ternyata masih banyak potret kehidupan perempuan yang tertindas dan sangat miskin, mereka bekerja siang dan malam tanpa lelah, mencari seuap nasi hanya untuk kepentingan dan kelangsungan hidup keluarganya. Sampul buku yang dibuat Lies juga menarik ditambah dengan isi foto yang begitu jelas menggambarkan perempuan dan gender. Keadilan dan kesetaraan perlakuan pada kasus pemiskinan dan kemiskinan anak bangsa, perempuan dan lelaki juga anak perempuan dan anak lelaki. Jadi tidak terlalu berlebihan, jika Lies bertutur dalam bukunya bahwa program pembangunan menuju keseteraan gender jalan di tempat, alias tidak bergerak.
Dan pembahan ketiga dari Departemen SKPM –IPB, Ir. Melani A. Sunito, MS, menjelaskan isi buku tentang perjuangan perempuan dalam melawan kemiskinan ini sangat menarik, apalagi ditunjang oleh foto-foto yang di hasilkan begitu elegan dan bermutu. Menggambarkan perjuangan seorang perempuan dalam mencari haknya dalam kehidupan.Mencoba menarik pembaca untuk langsung masuk kedalam isi cerita dan mencoba mengatasi persolan yang terjadi diluar sana. Ternyata nasib perempuan Indonesia begitu pilu, di desa-desa terpencil perempuan menjadi sasaran kaum lelaki yang rakus. Maka dari itu bukan hanya kaum miskin, tetapi pada seluruh lapisan masyarakat mulai dari pejabat, politisi, akademisi dan lainnya, amunisi dari penyaluran ini memerlukan perjuangandua arah agar tidak terjadi efek balik perlawanan yang timbul karena kekhawatiran akan ketergantungan stabilitas kuasa dari kaum lelaki. (Wal)