Maluku Akan Menjadi Sentra Rumput Laut
Wakil Menteri Perindustrian, Prof. Dr.Ir. Alex S.W. Retraubun, M.Sc mengatakan industri rumput laut bisa dibudidayakan secara masif di Maluku. Prof. Alex mengatakan, selama ini industri yang selalu dibahas di Kementerian Perindustrian selalu industri otomotif dan manufaktur. Oleh karenanya, Wakil Menteri yang juga berasal dari Maluku ini menjadikan rumput laut sebagai bahasan industri baru yang bisa dikembangkan di Maluku.
Hal ini disampaikannya saat menjadi keynote speaker di Seminar Nasional Pengembangan Pulau-Pulau Kecil di IPB International Convention Center (25/6). “Selain sudah mengkomunikasikan program ini dengan Bupati dan Gubernur Maluku, kita juga sudah melakukan kesepakatan dengan enam kementerian yakni dengan penandatanganan kesepakatan bersama antara Kementerian KUKM, Kementerian PDT, Kementerian Perindustrian, Kementerian DKP, BKPM dan Kementerian Perdagangan,” tambahnya.
Produk rumput laut dianggap mampu memberikan nilai tambah kepada nelayan karena dengan adanya perubahan iklim global, ikan-ikan yang ada di pesisir akan berpindah ke perairan yang lebih dalam. Perpindahannya diperkirakan sejauh 12 mil sedangkan peralatan yang dimiliki nelayan kalah bersaing dengan industri besar jika dipaksakan untuk menangkap ikan sejauh 12 mil. Selain itu, meningkatnya suhu massa air laut yang mengakibatkan wilayah pesisir menjadi lebih panas juga menjadi pertimbangan.
Rumput laut memiliki prospek yang cerah, produk ini bisa dirubah menjadi 500 produk olahan. Maluku sebagai wilayah kepulauan sangat cocok menjadi sentra rumput laut. Dengan luas lautan belasan kali lipat daripada luas daratan, diharapkan produksi rumput laut di wilayah ini bisa terjaga kontinuitasnya sehingga memudahkan industri untuk masuk dan pada akhirnya membuka peluang kerja.
Swasembada Garam
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Alex juga memaparkan program swasembada garam. Kebutuhan garam nasional mencapai 3 juta ton per tahun. Sedangkan pemenuhan dari dalam negeri baru mampu mencapai 1, 2 juta ton per tahun, sisanya impor.
“Selama ini, sentra garam kita hanya di Jawa Timur dengan lama produksi sekitar empat bulan. Tahun lalu, dengan curah hujan yang sangat tinggi dari Januari sampai Desember, produktivitas menurun drastis. Setelah melakukan penelitian, sebenarnya kita bisa swasembada garam dengan menambah sentra produksi garam di Nusa Tenggara Timur (NTT),” ujarnya.
Nusa Tenggara Timur mempunyai 9000 hektar lahan kosong yang ada di teluk. Dengan musim kemarau yang panjang sekitar delapan bulan, diperkirakan NTT mampu memproduksi garam hingga dua kali lipat produksi Jawa Timur. Sehingga untuk swasembada garam, pemerintah hanya membutuhkan sedikit upaya.
Sementara itu, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Dahrul Syah dalam kesempatan yang sama menyampaikan strategi untuk pulau-pulau kecil yakni dengan mengembangkan kearifan lokal dan mengembangkan bisnis yang berkelanjutan.(zul)
