Waspadai Daging Gelonggongan dan Ayam Tiren Jelang Lebaran

Waspadai Daging Gelonggongan dan Ayam Tiren Jelang Lebaran

Berita

Akhir-akhir ini marak ditemukan kasus pemalsuan produk peternakan. Menjelang lebaran, harga kebutuhan pokok meningkat drastis. Penjual nakal memanfaatkan kesempatan ini dengan menjual daging glonggongan dan ayam tiren.

“Konsumen harus pintar dalam memilih produk. Daging yang sudah rusak atau busuk sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi karena proteinnya hanya sedikit terserap oleh tubuh manusia, selain itu juga sudah terserang bakteri dan mikroba,” ujar Dr.Ir. Asep Sudarman, dosen Fakultas Peternakan IPB saat menjadi narasumber dalam Dialog Sore di RRI Bogor, (24/8).

Daging sapi bagus berwarna merah cerah, dipegang tidak lembek dan tidak keras tapi lentur dan tidak berair. Untuk daging ayam segar dilihat dari warnanya yang putih cerah dan tidak lembek.

“Ayam tiren, mati kemarin. Sebetulnya sudah diharamkan oleh MUI, karena sama dengan menjual bangkai. Apabila terlanjur mengkonsumsi daging kadaluarsa, pengaruhnya tergantung ketahanan tubuh manusianya. Daging sapi kadaluarsa atau ayam tiren, kandungan proteinnya tinggal seperempatnya dan pasti sudah terkontaminasi bakteri atau mikroba. Sama halnya dengan ayam tiren, daging glonggongan juga diharamkan oleh MUI, karena sapi dicekok dengan air minum yang cukup banyak, yang akhirnya malah menyakiti hewan tersebut.” tambahnya.

Dalam mengelabui konsumen, penjual nakal kadang nekat dengan menggunakan zat tambahan tertentu, misal warna kuning dari pewarna non pangan dan pengawet formalin.
 
Dr. Asep menyarankan, pembeli jangan tergiur harga murah karena harga ayam normal cukup tinggi, kalau ayam tiren biasanya murah.  Pedagang resmi di pasar jarang atau bahkan tidak berani menjual ayam tiren karena sama artinya dengan bunuh diri apalagi kalau ada inspeksi mendadak (sidak).

“Penjual ayam tiren biasanya bukan pedagang resmi alias pedagang dadakan. Mereka memanfaatkan tingginya kebutuhan masyarakat terhadap daging ayam,” ujarnya.

Baik daging lokal maupun impor jika penyimpanannya tidak bagus maka akan cepat rusak. Belilah daging dari pedagang langganan yang sudah biasa jualan di pasar secara legal. Karena dari awal mereka tidak akan mau mempertaruhkan bisnisnya.

Cara membedakan daging normal dengan daging glonggongan sangat mudah. Daging normal relatif kenyal dan ketika digantung tidak meneteskan air. Untuk daging glonggongan biasanya empuk, bila digantung akan meneteskan air atau bila disimpan diatas meja airnya akan merembes.

Sementara itu, Dinas Peternakan dan Perikanan selalu melakukan sidak. Jika ketahuan, produk langsung dimusnahkan dan penjualnya ditindak tegas, kalau hanya peringatan saja sebenarnya tidak cukup.

Lalu, apa penyebab pedagang tidak jera? Penjual melihat ada kesempatan meraih keuntungan besar. Mungkin kurang ditindak tegas dan hanya berupa peringatan dan sosialisasi.

“Untuk golongan ekonomi lemah mereka akan membelinya, walaupun kualitas produknya tidak bagus,”tekannya. Hal ini akan mempengaruhi kualitas dari Sumberdaya Manusia Indonesia. HDI Indonesia ada di urutan 111 dari 182 negara. Bandingkan dengan Amerika yang berada di urutan ke-13, dan Jepang di urutan ke 10.

Konsumsi protein hewani Amerika mencapai 113,6/kapita/hari, Jepang 91,8/kapita per hari, dan Indonesia 56,8/kapita per hari. Posisi Indonesia ini lebih rendah disbanding Malaysia yang berada di urutan 66 dunia dengan konsumsi daging 77,9/kapita/hari.

Dr. Asep menambahkan bahwa Konsumsi daging sangat mempengaruhi kecerdasan anak. Disorotinya Pasangan muda dengan ekonomi yang masih belum stabil ternyata lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah mahal daripada memenuhi kebutuhan protein anak.(zul)