UNFCC Memfasilitasi Alir Kapital Global

UNFCC Memfasilitasi Alir Kapital Global

Berita

Kesepakatan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) seperti halnya dengan protokol kepatuhan ekologi global lainnya menjadi subordinat dari protokol fasilitasi alir kapital global.  Demikian ungkap Dr.Hendro Sangkoyo dalam Diskusi "Prospektif UNFCC dalam Menangani Perubahan Iklim Menjelang COP 16 dan Pasca Protokol Kyoto 2012"  yang digelar Departemen Ekonomi Sumberdaya  Lingkungan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB), Selasa (11/5) di Kampus IPB Darmaga. Kebijakan Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) tidak akan mampu memecahkan masalah konversi hutan alam di sabuk tropika dan menurunkan emisi karbon. Menurut Hendro, perdagangan karbon adalah suatu upaya agar bisnis perusahaan internasional penyumbang emisi tinggi dapat berjalan lancar.

 

Hendro mencontohkan konsep perdagangan karbon. Suatu perusahaan multinasional membayar sejumlah dollar untuk  kompensasi penggunaan bahan bakar karbon yang menyebabkan emisi karbon. Misalnya, perusahaan multinasional membangun pabrik di suatu daerah di Amerika Serikat yang menyebabkan peningkatan emisi karbon di sana. Perusahaan tersebut dapat mengkompensasi membayar kompensasi sejumlah uang yang lebih murah  ke wilayah pelosok di Kalimantan. "Jika di daerah Amerika itu mereka harus membayar 50 – 100 dollar per ton karbon, maka di Kalimantan mereka membayar sebesar 4-5 dollar per ton karbon saja untuk pembangunan masyarakat setempat. Ini benar-benar tidak memecahkan masalah pemanasan global," tandas Hendro.

 

Pemecahan lewat kemajuan atau perubahan teknik sangat penting, tetapi tidak akan dapat mengatasi krisis klimitik yang pada dasarnya persoalan produksi dan konsumsi bahan bakar dan energi manusia. Hendro prihatin Indonesia merupakan negara penghasil sumber energi khususnya minyak, gas dan batubara terbesar dunia, namun pertumbuhan ekonominya kecil dan hutang serta angka kemiskinan tinggi. Sumber energi tersebut malah dieksploitasi  perusahaan asing dan dibawa keluar Indonesia. Hendro juga prihatin Indonesia pengekspor kedua terbesar batubara sekaligus negara pengkonsumsi batubara 2 persen di dunia."Indonesia mengekspor sebagian besar batubaranya yang berkualitas terbaik dan menggunakan batubara kualitas paling rendah dalam negeri. Batubara berkualitas rendah ini menghasilkan emisi karbon paling banyak," kata Hendro.

 

 Sementara Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB, Prof. Daniel Murdiyarso menyayangkan Indonesia yang berkomitmen menurunkan emisi  26 persen. "Padahal Indonesia termasuk negara berkembang yang tidak diminta mencantumkan besarnya emisi yang diturunkan. Indonesia hanya diminta menyatakan kesediaan aksi menanggulangi emisi dunia. Dengan komitmen 26 persen ini akan berimbas pada  alokasi pengeluaran belanja negara sebesar 10 persen dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tiap tahunnya," ujar Prof. Daniel.

 

Prof. Daniel juga menyayangkan kebijakan pemerintah yang mengizinkan deforestasi yang dilakukan pihak swasta untuk hutan produksi (misal perkebunan kelapa sawit) atau pertambangan. Pemerintah juga kurang tegas untuk menekan laju deforestasi hutan alam yang saat ini sekitar 1,2 juta hektar per tahun.  Hutan tropika memiliki cadangan karbon sekitar 250 ton per hektar dengan tingkat penyerapan yang minimum karena kondisinya sudah klimaks dan sudah tidak akan tumbuh lagi. Ini artinya pemerintah tidak mampu menahan kehilangan karbon  sekitar 1,2 milyar ton karbondioksida per tahun.

 

 Sedangkan hutan yang baru ditanam hanya mampu menyerap karbon rata-rata sekitar 5 ton per hektar per tahun tergantung umur, jenis dan kualitas lokasi hutan tanaman. Itu pun kalau penanaman berhasil, tidak mati terbakar atau mati karena sebab lain. "Dengan kata lain untuk mengganti karbon yang diemisikan dari satu hektar hutan klimaks yang ditebang habis diperlukan waktu 50 tahun. Belum terhitung kehilangan keanekaragaman hayati, kerusakan fungsi tata air dan jasa ekosistem lainnya,"lanjut Prof. Daniel.

 

Ketua Departemen ESL, Dr.Aceng Hidayat mengatakan diskusi yang dipandu  Dr.Ahyar Ismail ini dalam rangka mempertemukan birokrasi, praktisi, akademisi dan aktivis yang konsen dalam bidang pemanasan global untuk menemukan gagasan serta konsep penanggulan pemanasan global yang akan ditawarkan ke publik. (ris)