REESA Departemen ESL: Memandang Perubahan Iklim dari dekat

REESA Departemen ESL: Memandang Perubahan Iklim dari dekat

Berita

 

Resource Economic and Enviromental Students Assosiation Departemen Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (ESL) IPB "REESA " (30 4) menyelenggarakan diskusi perubahan iklim dengan tema utama "Agroekologi Solusi Hadapi perubahan Iklim ". Diskusi ini menampilkan pengantar materi: Azwar Hadi Nasution (Alumni Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, FAPERTA-IPB) dengan judul "Agroekologi dan Pendidikan Pertanian ekologis". Diskusi ini dipandu langsung Ketua Study Research and Development Hellen Hutagaol. Diskusi yang jadi agenda rutin "REESA" ini menarik antusiasme dari berbagai kalangan IPB mulai dari mahasiswa ESL, Ilmu Ekonomi, hingga pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas ekonomi dan Menajemen. Dalam sambutannya ketua REESA, Suci mengatakan kendati belum ada metode yng baku untuk menukur perubahan iklim ini akan tetapi dampaknya sudah sangat terasa. Untuk itu dibutuhkan sebuah strategi adaptasi dengan memahami duduk persoaalannya.

 

Agroekologi

Azwar Hadi Nasution dalam makalahnya menyajikan secara komprehensif dampak pemanasan global terhadap pertanian. Azwar memulainya dengan mengemukakan defenisi Agroekologi. Agroekologi yaitu suatu sistem pertanian berkelanjutan yang menitik beratkan pada kekuatan sumberdaya lokal yang dimiliki petani, dan mengurangi penggunaan "input" luar, tanpa merusak bentang alam maupun ekologi lahan hingga menggerus kelembagaan dan kearifan lokal masyarakat dalam budaya bertaninya. Sistem pertanian dengan model Agroekologi ini diyakini sebagai solusi perubahan iklim karena sangat adaptif terhadap lingkungan. Azwar juga memperlihatkan sumbangsih pertanian dalam peningatan Gas Rumah Kaca yang diakibatkan dari pertanian skala besar. Hal ini tidak terlepas dari konstribusi gas rumah kaca sector pertanian akibat produksi dan pemakaian urea, bahan bakar traktor (11 – 15%), pembukaan lahan dan deforestasi untuk perkebunan monokultur dan industry kehutanan (15 – 18%) ujarnya. Azwar juga mengkritik system pertanian yang tidak adaptif terhadap perubahan iklim dengan memberikan contoh system pertanian monokultur.

 

 

Perubahan Iklim dan Kelaparan

Pada Akhir makalah Azwar menyayangkan sikap pemerintah dalam mencari solusi perubahan iklim hingga kini tak jelas. Menurutnya, akibat perubahan iklim pada tahun 2008 terjadi penurunan produksi pangan dunia sebesar 15.9 %, Amerika Latin 24,3 %, afrika, 27,5 % dan Asia sebesar 19,3% akan tetapi solusi yang diambil pemerintah adalah melalui mekanisme "carbon trading". Ia juga mempertanyakan apa landasan logis dari "carbon trading" itu?. Menurutnya adalah suatu kemustahilan pemanasan global  dapat diatasi jika Indonesia mempertahankan hutannya akan tetapi  produsen terbesar gas rumah kaca tidak menurunkan emisinya, seperti USA, China, dan India.

Ia menambahkan masalah kelaparan bukan hanya disebabkan oleh perubahan iklim. Jauh sebelum isu ini mencuat masalah kelaparan sudah terjadi. Makanya dibutuhkan suatu strategi yang terintegrasi untuk mengatasinya. Ia berpendapat Agroekologi merupakan strategi alternatif untuk mengatasi kelaparan dan menghadapi dampak perubahan iklim karena dasar dari sistem pertanian ini berorientasi memenuhi kebutuhan lokal ketimbang ekspor. Agroeklogi juga merupakan strategi nyata mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan yang sehat dan bebas kontaminasi bahan kimia.

Menaggapi Diskusi yang dilakukan "REESA" Ketua Departemen ESL Dr. Aceng Hidayat memberi apresiasi yang positif karena mahasiswa sudah punya kepedulian dengan perubahan iklim. Menurutnya ancaman perubahan iklim bukan lagi sebatas wacana melainkan jadi isu komunitas dunia. Di level Internasional keprihatinan itu bukan hanya datang dari kalangan ilmuan di negara maju melainkan juga Ilmuan, pegiat LSM dari negara berkembang  hingga negara maju. Sudah saatnya sekarang kalangan mahasiswa tak sekedar berwacana soal perubahan iklim ini. Melainkan dibarengi oleh aksi – aksi kongkrit yang setidaknya mampu membangun kesadaran kolektif dan solidaritas komunitas, demikian tambah Dr. Aceng.