Nonton Acara Televisi yang Bijak: Selektif dan Direncanakan
Televisi telah menjadi kebutuhan penting masyarakat Indonesia. Hampir semua penduduk Indonesia memiliki televisi. Masyarakat menghabiskan sebagian besar waktu senggangnya dengan menonton televisi tanpa menyaring program acaranya. Akhirnya tanpa disadari terjajah oleh program-program televisi. "Hidup dan waktu kita diatur berdasarkan informasi dan jam tayang televisi. Mestinya kita menonton televisi terencana dan sesuai kebutuhan. Tidak harus semua acara ditonton. Bila perlu kita membaca review dan susunan jam tayang program acara televisi supaya bisa memilih dan tidak terjajah acara televisi," ujar Chief Executive Organization (CEO) Content Creative Indonesia, Riza Primadi dalam Diskusi Ekologi, Kebudayaan dan Pembangunan, Kamis (29/4) di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga. Diskusi ini diselenggarakan Departemen Sains Komunikasi Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Upaya membentengi masyarakat dari dampak buruk tayangan televisi, kata Riza, dapat dimulai dari keluarga. " Berawal dari keluarga, kita meng-counter globalisasi akibat tayangan televisi. Masing-masing anggota keluarga ditanamkan kepentingan nonton televisi. Bagi yang mempunyai uang lebih bisa memilih alternatif yakni televisi berlangganan. Beberapa teman saya malah lebih ekstrem lagi tidak ada televisi dalam rumahnya, karena melihat banyak madharat-nya dibanding keuntungannya," ungkap Riza.
Seberapa serius kita membentengi tayangan buruk televisi semua kembali pada keluarga dan kebijakan perundang-undangan di negara ini. "Tentu saja sekuat apa pemerintah melawan kapitalisme atau pemodal," tandas Riza.
Televisi saat ini beroreintasi bisnis. Tingkat rangking suatu acara bukan digunakan sebagai acuan pemirsa, namun untuk menentukan tarif iklan. Lanjut Riza, salah satu dampak demokratisasi dan liberalisasi televisi adalah persaingan. Ini mendorong pihak pertelevisian melakukan banyak sekali jalan pintas pembuatan program acara tanpa memperdulikan kualitasnya.
Hal senada disampaikan Ketua Asosiasi Televisi Kerakyatan Indonesia (ASTEKI), Rizki R.Sigit, seleksi tayangan televisi paling kuat melalui undang-undang. Rizki juga mengatakan persaingan antar televisi khususnya nasional memunculkan kultur global dan homogenitas. "Identitas lokal hilang. Mainstream yang berkembang berbasis kultur kota dan metropolitan. Padahal suatu mainstream belum tentu benar," jelas Rizki. Untuk mengimbangi hal ini, menurut Rizki, perlu dibangun televisi berbasis komunitas (lokal) atau televisi jaringan yang melibatkan atau memasukkan sebanyak-banyaknya masyarakat setempat dalam program acaranya. Diskusi ini dipandu moderator Staf Pengajar Departemen Sains Komunikasi Pengembangan Masyarakat, FEMA IPB, Ir.Hadianto, MS. (ris)