Bicara Perkembangan Ilmu Ekonomi di IPB
Perkembangan dan tantangan ke depan dalam membangun perekonomian bangsa sangat besar. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB yang sudah berumur empat tahun merasa perlu pengembangan lagi sehingga sesuai dengan kebutuhan. Cukup banyak program studi yang dikembangkan oleh FEM IPB, namun harus lebih fokus untuk mengembangkan kekhususan yang dapat ditawarkan sehingga program studi yang bersangkutan tidak tumpang tindih. Namun faktor eksternal juga perlu diperhatikan sehingga program studi yang dikembangkan tidak jauh tertinggal dengan yang sudah dikembangkan luar negeri.
Hal tersebut disampaikan oleh Dekan FEM, Dr. Yusman Syaukat dalam Lokakarya Akademik bertajuk “Pengembangan Pascasarjana Program Mayor Ilmu Ekonomi” yang digelar oleh Departemen Ilmu Ekonomi di Ruang Mahoni, Gedung MB IPB (21/1). Acara menghadirkan Wakil Rektor Bidang Sumberdaya dan Pengembangan, Prof. Hermanto Siregar, Ekonom Indef Fadhil Hasan, Direktur Perencanaan Makro, Kementerian Perencanaan Nasional (Bappenas), Ir. Bambang Priyambodo, M.Sc.
Prof. Hermanto menyatakan 7 persoalan ekonomi pembangunan Indonesia yakni pengangguran dan produktivitas tenaga kerja yang rendah, kemiskinan dan kebodohan, ketidakmerataan, lemahnya keterkaitan desa-kota dan sektoral, inefisiensi sektor public, utilisasi sumberdaya alam yang sub-optimal dan industrialisasi yang belum berhasil, dan kerentanan terhadap goncangan eksternal. Persoalan-persoalan inilah yang menyebabkan Vietnam melampaui Indonesia dalam hal Human Development Index di tiga kategori yakni kesehatan, pendidikan, dan tingkat pengangguran. “Sedikit saja terjadi gejolak dalam aspek eksternal transmisinya cepat sekali dan dampaknya cukup besar. Krisis 2007, Amerika Serikat sudah banyak ter-cover namun di kita masih belum sepenuhnya baik,” ujarnya.
Pendekatan yang dilakukan pemerintah yakni dengan basis ekonomi makro tidak efektif karena kurang nyambung antara makro dan mikronya. “Sejauhmana kebijakan makro dapat diterima dengan efektif oleh Bappeda (yang menghadapi langsung persoalan-persoalan mikro), jangan-jangan ada pembajakan program,” ujarnya.
Sehingga menurutnya diperlukan pemahaman empiris dan teoritis bagi perencana dan pelaksana kebijakan mengenai makro dan mikro. Selain itu diperlukan juga pemahaman aspek politik dan kelembagaan. Implikasi bagi kurikulum program S2 Ilmu Ekonomi dan Ekonomi Pembangunan yakni pilihan krurikulum yang disarankan adalah terapan (fokus pada ekonomi pembangunan) dan kombinasi antara teoritis dan terapan.
Menurut Bambang Prijambodo, masukan bagi evaluasi dan pengembangan ilmu ekonomi pembangunan IPB mencakup tiga pendalaman utama yakni teori yang mendasarinya (dilengkapi dengan teknis secara singkat tapi dalam), relevansinya terhadap pembangunan Indonesia serta perbandingan dengan negara-negara lain. “Kenapa strategi industrialisasi di Malaysia berhasil, kenapa di Korea juga berhasil. Ada kesalahan sistem yang menyerang sumberdaya manusia, dimana seharusnya orang-orang pintar itu harusnya bergerak di sektor riil,” ujarnya.
Menurutnya isu-isu yang digarisbawahi adalah pertumbuhan ekonomi (tetap tidak melupakan teori pertumbuhan), ketenagakerjaan, kemiskinan, moneter, fiskal, ekonomi internasional dan kebijakan perdagangan, keuangan, strategi industrialisasi, pemerataan pembangunan ke daerah, serta lingkungan dan perubahan iklim.
Belajarlah Sampai ke Negeri China
Menurut Direktur Indef, Dr. Fadil Hasan, bukti-bukti empiris menyatakan perpaduan antara intervensi pemerintah dan ekonomi pasar dirasa paling bagus dalam mengembangkan perekonomian untuk kawasan Asia. Pemikiran neoclasic terbukti menyebabkan krisis. Tahun 2010, hampir setiap negara akan keluar dari rezim stimulus yang justru akan membuat sistem ekonomi dunia semakin rentan. IPB sangat kuat dalam pemikiran induktif-nya yakni lebih ke arah studi empiris. Sekarang ini ada beberapa hal yang berbeda dengan fenomena tahun 70-80an, saat ini gobalisasi dan revolusi teknologi lebih dominan.
Ketika merumuskan suatu kurikulum ilmu ekonomi yang diharapkan relevan dan mampu menjawab persoalan ekonomi yang dihadapi, aspek lokal dan situasional harus menjadi fokus dalam merumuskan kurikulum ataupun program studi tersebut.
“Fenomena sekarang ini adalah China dan India, China mengulang pengalaman Jepang. China menggunakan sistem ekonomi yang berbasis pasar dengan sebuah planning perencanaan negara yang kuat, yakni planning to role market. Dari pemikiran itu kemudian diturunkan dalam berbagai kebijkan yang lebih detail di bidang fiskal, moneter dan industri. Inilah ciri dari ekonomi China, namun tentunya ada faktor lain yang non ekonomi yakni politik dimana Indonesia berbeda dengan China. Inilah yang harus menjadi orientasi dalam membentuk Program Studi.(zul)