Menuju Pendirian Bank Pertanian

Menuju Pendirian Bank Pertanian

Berita

Dalam menjalankan usaha taninya, sebagian besar sumber modal petani berasal dari modal sendiri. Sebagian dari pengijon atau pelepas uang bunganya relatif tinggi, tetapi mudah dan cepat diakses. Sebagian lagi berasal dari perbankan melalui skim-skim kredit pertanian dan  skim kredit penjaminan.
“Selama lima tahun terakhir penyaluran kredit perbankan pada sektor pertanian tidak beranjak pada angka 6 persen dari total penyaluran kredit nasional yang pada Februari 2009  mencapai sekitar Rp 1.200 trilyun,” ungkap Menteri Pertanian RI Anton Apriantono dalam Seminar ‘Menuju Pendirian Bank Pertanian’ Senin (11/5) di IPB International Convention Center Kampus IPB Baranang Siang.

Ketika ingin  mengakses modal perbankan, para petani dihadapkan permasalahan seperti : terbatasnya agunan yang dimiliki, terbatasnya lembaga penjamin kredit, terbatasnya lembaga asuransi kegagalan panen, dan jumlah tenaga pendamping di lapangan yang belum memadai. Hal ini ditengarai berdampak  lemahnya akses petani terhadap permodalan perbankan. Ditambah pula berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka tidak tersedia lagi Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Akibatnya sumber pembiayaan sepenuhnya mengandalkan lembaga pembiayaan formal, baik perbankan maupun non-perbankan. Umumnya pola penyaluran kreditnya melalui pola executing dengan  suku bunga mengikuti bunga pasar atau komersial, kecuali skim-skim khusus dengan subsidi bunga serta penjaminan.
Menurut Mentan, pemerintah berusaha mengatasi permodalan dengan beberapa cara. Pertama,  bagi petani miskin yang memiliki potensi difasilitasi melalui penguatan modal kepada Gabungan Kelompoktani (Gapoktan) berupa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang dilaksanakan melalui program PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan). Kedua, bagi petani yang tidak mampu dengan suku bunga komersial, ditempuh dengan skim kredit bersubsidi seperti KKP-E, KPEN-RP, dan KUPS. Ketiga,  bagi petani yang memiliki  keterbatasan agunan, difasilitasi dengan skim penjaminan kredit atau  yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang sebelumnya telah dirintis melalui Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3). Kebijakan ini dinilai belum cukup membantu petani. “Perlu kiranya pendirian bank pertanian,” kata Mentan. Negara-negara seperti Perancis, Korea, Malaysia, China, Taiwan, Thailand, Turki, Iran, Arab Saudi, Jerman, Belanda, Srilanka dan Mongolia telah lama memiliki bank
pertanian
yang fokus membiayai usaha petani dan keluarga petani.

Dari sisi regulasi, sebenarnya kehadiran bank khusus masih sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan Pasal 5 UU No. 7 th 1992 tentang Perbankan yang kemudian  berubah menjadi UU No. 10 th 1998 tercantum “Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu”. “Perundang-undangan yang ada sangat memungkinkan pendirian bank pertanian. Bank umum dapat mengkhususkan diri menjadi bank pertanian.”


Deputi Bank Indonesia Muliaman D. Hadad  menambahkan untuk jangka pendek Bank Indonesia akan membantu permasalahan permodalan petani melalui pemberian berbagai skim khusus dan pengoptimalan bank yang ada. “Dalam jangka menengah dan panjang, Bank Indonesia akan membantu akses permodalan petani mikro dengan berbagai alternatif . Bentuk yang dapat dipilih misalnya pendirian lembaga pembiayaan pertanian atau bank pertanian.”

Mengenai strategi pendirian bank pertanian khususnya untuk memberi modal mikro, Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian RI Dr. Ir. Hasanuddin Ibrahim Sp.I mengatakan perlu adanya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sebagai unit banking system, yang akan berkembang nantinya menjadi Koperasi atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR). “ Lembaga keuangan Mikro ini  menjangkau seluruh lapisan petani kecil di pedesaan dan dikelola oleh masyarakat setempat.”

Wakil Rektor Bidang Sumberdaya dan Pengembangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Hermanto Siregar  mengatakan membentuk bank pertanian dari bank baru membutuhkan  tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Beberapa alternatif yang dapat diambil pemerintah dan Bank Indonesia (BI) antara lain mentranformasi yang sudah ada. “Pemerintah dapat langsung mentranformasi salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dapat juga mentranformasi anak perbankan BUMN yang sudah spin off, misalnya BNI syariah. Atau juga mentranformasi bank daerah yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),” papar Prof. Hermanto. Alternatif lain, pemerintah dapat mengaktifkan kembali dan mengembangkan  Agro Bank atau mengembalikan fungsi awal  Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang dulu merupakan Bank Kredit Petani dan Nelayan.

Bank pertanian tidak dapat disamakan dengan  dengan bank konvensional yang mengutamakan komersial.  Pendirian bank pertanian sejatinya bentuk political will pemerintah terhadap nasib petani. “Bank pertanian hendaknya berkarakter state owned, non depository, indikator kinerja tidak hanya  indikator-indikator kerja yang menghasilkan lama semata, namun  juga kinerja pertanian dari setiap unit-unit yang dibiayai,” tutur Prof. Hermanto.

Wakil Gubernur Jawa Barat Yusuf Macan Effendi yang akrab dipanggil Dede Yusuf mendukung perjuangan pendirian bank pertanian, karena menurutnya pemerintah harus memperhitungkan cost sosial, bukan keuntungan komersial semata. “Bank pertanian mungkin kurang menguntungkan secara komersial, namun kebijakan ini dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan, membantu permodalan petani kecil, membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional,” urai Dede Yusuf.

Dede Yusuf memaparkan kebijakan pemerintah Jawa Barat yang memfungsikan Bank Jabar sebagai bank pertanian.”Sebanyak 65 persen masyarakat Jawa Barat bekerja sebagai petani.  Bank pertanian sangat penting untuk membantu petani. Kami menganggarkan dana pemodalan bank pertanian dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).” Hanya saja, kata Dede Yusuf, dana APBD tersebut tidaklah mencukupi dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat  Indonesia. Oleh karena itu, tandas Dede, gagasan pendirian bank pertanian musti berasal dari pemerintah pusat. Apalagi otoritas pembentukan bank baru nasional ada di tangan pemerintah pusat.

Di akhir acara, Rektor IPB Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, MSc mengungkapkan komitmen IPB dalam mendorong terwujudnya bank pertanian. “Kami akan membentuk tim kelompok kerja (Pokja) yang akan merumuskan konsep dan mengkomunikasikan dengan berbagai lembaga terkait,” ujar Rektor.

Acara yang diprakarsai IPB bersama Bank Indonesia dan Departemen Pertanian RI ini juga menghadirkan pembicara Deputi  Menteri Negara BUMN Bidang Usaha, Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan RI Dr.Agus Pakpahan, dan Peneliti Utama INDEF Prof. Bustanul Arifin. Selain itu, dihadirkan juga pembahas lain yakni perwakilan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)  Dr.Sutrisno Iwantoro. Sedangkan moderator oleh Peneliti Utama Senior Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia Prof. Irman Djaja Dalimi. (ris)