Manajemen Krisis Ekonomi Ala IPB
Pemerintah selalu menyatakan bahwa sejauh ini krisis keuangan global tidak akan berpengaruh nyata pada perekonomian. Berbagai indikator yang terlihat belakangan memang mendukung hal tersebut. Dimana nilai tukar rupiah terhadap dollar AS misalnya, mulai turun lagi ke angka 10.600 rupiah/dollar pada 5 Mei 2009 ini. Begitu juga dengan pergerakan IHSG, pertumbuhan PDB, jumlah dana pihak ketiga yang ditabung di bank umum hingga bulan Maret 2009, semua indikator muali merangkak naik dan menunjukkan bahwa kondisi ekonomi nasional sudah mulai membaik. Namun berbagai indikator pertumbuhan tersebut perlu diwaspadai karena tidak didasarkan atas kondisi perekonomian yang mantap. Hal ini dibuktikan dengan kondisi Indonesia menjadi negara terbesar penghutang ke Asian Development Bank (ADB) dengan nilai hutang sebesar 2 miliar dollar. Nilai ini menambah total utang nasional menjadi 1.667 trilliun rupiah. ”Pertumbuhan ekonomi ini hanya sebuah pertumbuhan yang tidak memiliki fondasi yang kokoh, sehingga rentan kembali digoyang krisis, ditambah lagi tahun 2010 merupakan jatuh tempo pembayaran utang jaman Orde Baru. Otomatis pada pertengahan tahun ini sebagian APBN akan diarahkan kesana sehingga dapat kita bayangkan apa pengaruhnya,” ujar Wakil Rekor Bidang Riset dan Kerjasama IPB, Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng dalam sambutannya di acara Seminar Lokakarya Nasional bertajuk ”Upaya Penanggulangan Dampak Krisis Finansial Global Terhadap Sektor Petanian dan Pedesaan” di IICC (15/5).
Dalam rangka antisipasi dan meminimalisasi dampak krisial tahun 2008, maka IPB berinisiatif melakukan penelitian kebijakan yang berkaitan dengan riset terapan dalam rekayasa protokol manajemen krisis yang sedang berlangsung. Yakni dengan terbentuknya Working Group of Crisis Management Protocol-Food, Agriculture and Rural Development (CMD-FARD). Timini memiliki peminatan khusus (special interest group) yang anggotanya memiliki latar belakang keilmuan yang beragam dan dikelola melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM) IPB.
Seminar kali ini adalah awal rangkaian seri seminar. Fokus kali ini adalah keuangan mikro dengan mengedepankan berbagai fokus tema Manajemen Protokol Krisis lain yaitu, bidang ketenagakerjaan, bidang pangan, serta bidang lingkungan dan sumberdaya alam.
Hasil sementara survey yang dilakukan oleh Tim CMD-FARD terhadap pakar Analitical Hierarki Process (AHP) dengan 23 responden S3 dari seluruh universitas di Indonesia menyatakan bahwa pemerintah (dengan nilai 0.462) merupakan aktor utama pengendali dampak krisis financial global. Dalam presentasinya, Prof. Eriyatno mengatakan bahwa hal ini berarti APBN/APBD diarahkan sebaik mungkin untuk pemulihan krisis dan juga perlu dikembangkannya regulasi dan supervisi untuk lembaga keuangan.
Sementara itu, prioritas faktor yang dianalisis adalah keuangan eksternal, keuangan internal, lingkungan usaha dan hubungan publik. Dari metoda yang sama, dihasilkan bahwa faktor yang menjadi prioritas (dengan nilai 0.348) adalah faktor keuangan internal. Hal ini berarti Indonesia membutuhkan stimulus fiskal serta adanya insentif dan perbaikan adminitrasi keuangan untuk mencegah korupsi. “Di Sydney, keuangan internal menjadi faktor utama,” ujar Prof. Eriyatno.
Sedangkan untuk strategi yang digunakan, AHP menyatakan bahwa proses kreatiflah prioritas strateginya. Artinya diperlukan early warning system dan program Jaring Pengaman Sektor Pertanian dan Pedesaan (JPSPP) dari APBN/APBD.
IPB melalui CMP-FARD sudah menyiapkan draft awal JPSPP yang dimatangkan atau diuji validitasnya dengan memasukan tanggapan dari lintas perguruan dalam rountable discussion lokakarya nasional. Pembahas yang dihadirkan berasal dari Universitas Sriwijaya dan Institut Teknologi Surabaya. Menurut Dr.Ir.Lala M.kolopaking, MS, JPSPP merupakan suatu mekanisme penyelamatan dan pemulihan dampak krisis keuangan dan perdagangan global terhadap sektor pertanian, pangan dan wilayah pedesaan. Adapun naskah akademik JPSPP adalah dari gagasan ilmiah tentang krisial 2008 serta dari studi empirik historis pada krismon 1997/1998.
“Kenapa harus ada JPSPP, karena petani kita rentan terhadap krisis. Per Januari 2009 Nilai Tukar Petani (NTP) nasional turun 0.7%. Ditambah lagi dengan image desa yang masih dicirikan dengan kemiskinan,” ujarnya. Sementara itu, JPSPP sendiri mempunyai tujuan untuk membangun resiliensi dan memelihara stabilitas sistem pertanian, masyarakat dan desa melalui upaya penyelamatan dan pemulihan dari krisis. Adapun untuk penyelamatan krisis diusulkan adanya program penanganan rawan pangan dan gizi, program padat karya keswadayaan pangan, program penciptaan lapangan kerja produktif dan program penyediaan dana bantuan hibah atau kredit lunak. Dan untuk upaya pemulihan krisis ditawarkan adanya program pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur perdesaan, program perkuatan permodalan bagi UMK-pertanian, program penguatan kapasitas masyarakat dan program penguatan kelembagaaan masyarakat. Selain model kreatif jaring pengaman, IPB juga melakukan studi sistem deteksi dini untuk manajemen krisis pangan dengan simulasi model dinamis dan komputasi. Hasil kajian ini disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar. Presentasi lainnya juga disampaikan oleh Dr.Ir. Rizaldi Boer dengan analisis perdagangan karbon kehutanan dalam rangka mengatasi krisis keuangan. ”Rumusan dari kegiatan seminar ini nantinya akan kami sampaikan ke DPR agar menjadi rekomendasi pemerintah dalam menentukan kebijakan terhadap pertanian di Indonesia untuk menanggulangi dampak krisis keuangan global,” tandas Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman M.Rur. Sc selaku moderator.(zul)