Teknologi Bioretensi Atasi Banjir Jakarta
Setelah lubang biopori, satu lagi teknologi temuan
salah satu peneliti Institut Pertanian Bogor
(IPB) untuk mengatasi masalah limpasan dan banjir Jakarta. Teknologi ini disebut bioretensi. Prinsip dasar bioretensi
menahan air di lahan untuk mengisi aquifer bebas, sehingga air dapat
dikendalikan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat.
Sistem bioretensi ini menggabungkan antara sumur resapan dengan tanaman.
"Bioretensi merupakan teknologi aplikatif yang menggabungkan unsur tanaman, ‘green
water' dan ‘blue water' dalam suatu bentang lahan dengan semaksimal
mungkin meresapkan air ke dalam tanah. Air tersebut dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan masyarakat," papar Pakar Bidang Hidrologi dan Ekosistem Daerah
Aliran Sungai (DAS) Fakultas Kehutanan IPB, Ir.Nana M. Arifjaya saat Konferensi
Pers, Selasa (17/3) di Kampus IPB Darmaga.
"Green water" adalah air yang tersimpan di pohon dan lahan,
sedangkan "blue water" adalah air yang tertampung dalam bentuk mata air,
sungai dan danau. Menurut Nana, sekitar 44,91 persen atau 28.902 hektare lahan
di DKI Jakarta mampu meresapkan air dengan baik. "Bisa dikatakan, wilayah ini
menjadi busa raksasa yang siap menyimpan air. Masalahnya, luasan lahan tersebut
sudah tertutup bangunan maupun aspal."
Dengan rata-rata curah hujan di DKI
Jakarta 2000 mili meter per tahun, pemanfaatan teknologi bioretensi pada
lahan tersebut mampu menyimpan 578,34 juta meter kubik air per tahun atau 1,6
juta meter kubik per hari. Jumlah ini cukup untuk memenuhi keperluan domestik
sekitar 7,9 juta masyarakat perkotaan.
"Dengan jarak 2 hingga 3 meter dari sumur bioretensi tersebut, warga bisa
memasang pompa air, sehingga mereka tidak lagi membutuhkan air PAM," kata Nana.
Pembuatan bioretensi dapat dilakukan di halaman rumah,
selokan, trotoar, taman, lahan parkir, dan gang-gang sempit padat
penduduk. Tidak perlu pembebasan lahan, dan tidak menghilangkan luasan
lahan.
Proses pembuatannya terbilang sederhana. Pertama, pembuatan selokan kecil
menuju sumur resapan. Kedua, penggalian sumur resapan satu meter persegi
kedalaman 2,7 meter. Ketiga, pemasangan bius penahan dinding sumur resapan. Bius
terbuat dari cetakan beton, berbentuk seperti jendela persegi panjang
berukuran satu meter, dan memiliki empat lubang. Bius dipasang di samping
kanan kiri dan atas bawah dinding sumur resapan. Keempat, pemasangan ijuk dan
batu kali di dinding bawah sumur resapan sedalam 1,7 meter. Ijuk dan batu kali
ini berfungsi menyerap air dan menahan energi kinetik air yang masuk ke bawah
sumur. Kelima, pemasangan penutup sumur. Penutup ini terbuat beton.
Air limpasan hujan sengaja diarahkan masuk
ke sumur melalui sebuah pipa, sehingga air tidak semuanya langsung
mengalir ke daerah lebih rendah. Pada tahun 2008, tim IPB telah membuat sumur
bioretensi di 800 lokasi di Jakarta. Tahun ini, direncanakan akan dibuat 100
sumur lagi. Kawasan-kawasan yang memungkinkan untuk pembuatan sumur ini
sebagian besar berada di wilayah Jakarta Timur, Barat
dan Selatan.
Dalam perhitungan tim IPB, jumlah ideal
sumur bioretensi untuk seluruh DAS di wilayah Jabodetabek
adalah 261.622 unit dengan kemampuan meresapkan
air hujan 437,2 meter kubik per detik. 123.706 unit diantaranya dibuat di
Jakarta dan 6.642 unit di Kota Bogor.
Dana untuk membuat satu sumur bioretensi sekitar Rp 2,5 juta. Biaya
mencakup penggalian, pembuangan tanah, pembuatan dan pemasangan sumur
resapan. Untuk membuat lebih dari 261 ribu sumur bioretensi di Jabodetabek
diperlukan dana sekitar Rp1 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan biaya
pembangunan banjir kanal timur yang mencapai Rp13 triliun.
Bioretensi berbeda dengan sumur resapan
pada umumnya. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan
bioretensi antara lain kedalaman air tanah lebih dari 3 meter, tanah yang
dipilih tidak jenuh air, merupakan lahan terbangun (berdiri bangunan), bukan
tanah aluvial (lumpur sedimen), jarak dari septic tank lebih dari
8 meter, dipilih lokasi geologi tanah kipas aluvail yang memiliki daya
serap tinggi seperti busa. "Penyebab kegagalan pembuatan sumur resapan terjadi
karena pembuatannya tidak mempertimbangkan geologi tanah, tanpa perencanaan dan
pengawasan matang," ujar Nana.
Pengendalian banjir ini makin sempurna
jika dibangun juga dam pengendali dan dam penahan di beberapa titik sepanjang
sungai. Dam ini berfungsi mengurangi kecepatan aliran air dari hulu ke hilir
terutama saat hujan deras atau debit air tinggi. "Khusus Ciliwung dibutuhkan
298 unit dam pengendali dan 66 unit dam penahan," tegas Nana. (ris)