Kebijakan Fiskal, Moneter, Perbankan dan Pasar Modal Indonesia Belum Pro Petani
Beberapa soko guru neoliberal adalah kebijakan fiscal, moneter, perbankan
dan pasar modal. Selama ini baik kebijakan fiskal, moneter, perbankan dan pasar
modal Indonesia tidak pro pertanian dan rakyat. "Keempat kebijakan tersebut
lebih menekankan pengaturan sektor non
riil (virtualisasi). Kebijakan ini menjadikan
sektor non riil sebagai ukuran kesejahteraan rakyat, seperti pertumbuhan
ekonomi, daya beli, inflasi dan suku bunga," ujar Mantan Menteri Koorditanor
Perekonomian sekaligus Mantan Menteri Keuangan, Rizal Ramli dalam Roundtable
Discussion ‘ Kebijakan Fiskal, Monoter, Perbankan dan Pasar Modal yang
Mensejahaterakan Rakyat' Selasa (12/8) di Gedung Andi Hakim Nasution Rektorat pus IPB Darmaga. Rountable
Discussion ini diselenggarakan Direktorat Riset dan Kajian Strategis
Institut Pertanian Bogor (IPB) dan the International
Center for Applied Finance and Economics (Inter CAFÉ) IPB.
Terlebih lagi sejak krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia menerima uluran bantuan
IMF, kondisi perekonomian bukannya
membaik. Indonesia menandatangani Letter
of Intens yang berisi konsep Washington Consensus. Akibatnya Indonesia kian
masuk dalam cengkeraman neoliberal dunia. "Bank lebih berfungsi menjaga inflasi
dan nilai tukar uang, bukan memberikan
bantuan kredit usaha bagi usaha kecil menengah. Wajar jika petani, nelayan atau
masyarakat yang bergerak di sektor riil tidak memperoleh akses modal," ujar Ramli
Menurut Ramli, kondisi ekonomi Indonesia
saat ini seperti gelas anggur. Kaum
miskinnya banyak, kelas menengahnya tidak ada, langsung dipenuhi kaum elite.
"Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin," ungkap Mantan Kepala Badan
Urusan Logistik ini.
Kaum neoliberal itu, kata Ramli, sengaja memiskinkan masyarakat dengan
kebijakan-kebijakannya. Mestinya, struktur ekonomi yang ideal itu seperti
piramida. Dalam struktur piramida, kaum miskin dan kelas menengah menyokong
kaum elit, sehingga tak terjadi konflik. Kebijakan pemerintah saat ini hanya
menyenangkan kaum elit yang porsinya hanya 10 persen, sedangkan 90 persen
diabaikan, sehingga kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah kemiskinan
struktural. "Kemiskinan struktural itu terjadi karena kebijakan pemerintah
tidak memihak kepada rakyat," kata Ramli.
Untuk bangkit dari krisis tersebut, Ramli mengusulkan agar Indonesia mampu
membantu dirinya sendiri, tanpa menggantungkan kepada pihak asing. "Bantuan
asing itu hanya akan mempersubur neokolonialisme," tegas Ramli. Ramli
menyampaikan untuk memajukan pertanian pemerintah perlu mengambil
langkah-langkah diantaranya: pembangunan infrastruktur, pendirian industri
benih, memperluas akses kredit, dan kebijakan harga hasil pertanian yang pro
petani.
Kepala Inter-Cafe, Dr. Iman Sugema mengatakan kebijakan ekonomi Indonesia
mempunyai sifat empat I yaitu inkonsistensi,
irrelevansi, impotensi dan insane.
"Hasil survei mengatakan masyarakat merasa kecewa terhadap program anti
kemiskinan karena tidak mampu mengimbangi kenaikan harga barang, pengangguran
dan kemiskinan tidak tertangani."
Pembicara lain Staf Pengajar Universitas Atmajaya, Dr. A. Prasetyantoko menyampaikan
devirtualisasi ekonomi Indonesia. "Agenda besar kita sekarang adalah melakukan
devirtualisasi ekonomi atau menanam kembali ekonomi ke dalam konteks riil
masyarakat, termasuk di dalamnya menjadikan pertanian sebagai penggerak sektor
riil," ujar Dr. Prasetyantoko.
Acara yang dimoderatori Guru Besar
Fakultas Ekonomi Manajemen IPB, Prof. Dr. Didin S. Damanhuri ini diawali
pembukaan oleh Direktur Riset dan Kajian Strategis IPB, Dr. Arif Satria dan
Wakil Rektor IPB Bidang Riset dan Kerjasama, Dr. Anas Miftah Fauzi. (ris)