Roundtable Disscusion : Ancaman Krisis Energi dan Kedaulatan Bangsa

Roundtable Disscusion : Ancaman Krisis Energi dan Kedaulatan Bangsa

Berita

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs-IPB) menggelar  Roundtable Disscusion bertajuk ‘Ancaman Krisis Energi dan Kedaulatan Bangsa'  Senin (19/5) di Kampus IPB Darmaga.  Roundtable ini   rangkaian kegiatan Sekolah Pascasarjana IPB dalam  menyambut ‘100 Tahun Kebangkitan Nasional'.

 

‘Krisis energi  yang melanda negara  kaya sumberdaya alam seperti Indonesia merupakan ujian yang harus disikapi cerdas, jujur, sesuai moral dan keimanan," ungkap Dekan SPs IPB, Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro dalam sambutannya.

 

Pemerintah seharusnya tidak serta merta menafsirkan penolakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai anti pemerintah, apalagi anti bantuan untuk rakyat kecil. "Fakta ini harus dipandang sebagai perlawanan terhadap tekanan lembaga ekonomi global, intervensi Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan organisasi perdagangan internasional yang memaksa harga bahan bakar minyak (BBM) Indonesia sama dengan harga di pasar global," kata Prof.Khairil.

 

 Selain itu, pemerintah hendaknya melihat penolakan sebagai aspirasi agar pemerintah segera memikirkan dan mengambil langkah-langkah sistematis untuk mengentaskan kemiskinan . "Tidak sekedar bantuan langsung tunai (BLT) yang lebih bersifat obat merah semata."   Seharusnya pemerintah mengeksplorasi berbagai pilihan kebijakan  dengan prinsip menyelamatkan rakyat kecil dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).  Prof. Khairil memberikan beberapa pilihan diantaranya: penghematan  energi para pejabat dan kantor pemerintah serta  pembagian lebih adil dari bagi hasil minyak dengan perusahaan multinasional

 

Prof.Dr.Ir. Armansyah Tambunan  menambahkan masyarakat pedesaan yang berada di bawah garis kemiskinan merupakan  kelompok masyarakat yang paling banyak menggunakan kayu bakar . "Masyarakat pedesaan amat sensitif terhadap peningkatan konsumsi kayu bakar dan minyak tanah. Ini menunjukkan kayu bakar menjadi alternatif utama pengganti minyak tanah," kata Prof. Armansyah.

 

 Prof. Armansyah menekankan arti pentingnya pengembangan energi terbarukan yang berbasiskan sumberdaya pertanian untuk menunjang pembangunan pertanian dan pedesaan.  Energi terbarukan yang bisa menjadi alternatif pilihan diantaranya : surya, biomassa, angin, mikrohidro, dan air. Energi terbarukan yang memiliki keunggulan tersebut,  tersebar di wilayah pedesaan, sehingga merupakan pasangan serasi jika dikembangkan secara terpadu dengan pembangunan pertanian. Teknologi konversi energi terbarukan masih terjangkau. Umumnya energi terbarukan bersifat lebih ramah lingkungan dibandingkan energi fosil, sehingga isu lingkungan hidup dan pemanasan global dapat diatasi.

 

 

Menurut Prof. Armansyah pengembangan energi terbarukan ini sesuai dengan kebijakan pemerintah tertuang dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2005 dan Keputusan Presiden No. 1  tahun 2005 tentang pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN). Namun Prof. Armansyah mengkhawatirkan konversi energi terbarukan dari bahan pangan akan menimbulkan polemik baru." Saya berharap kebijakan ini tidak  menimbulkan polemik baru seperti timbulnya persaingan antara energi dan produk pangan khususnya kelapa sawit, kelapa, ubi kayu, dan tebu," kata Prof.Armansyah.    

 

Jadi pengembangan energi terbarukan, jelas Staf Pengajar Departemen  Teknik Pertanian IPB ini,  harus dilakukan secara terintegrasi dengan pembangunan pertanian dan pedesaan dengan paradigma orientasi manajemen penyediaaan (supply) ke orientasi manajemen penggunaan (demand).

 

Staf Pengajar dari Departemen Statistika IPB, Dr.Ir. Asep Saefuddin memaparkan perlunya modernisasi kebijakan energi sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam konteks ekonomi yang dikenal "Knowledge Economy" (K-economy). "‘Pemerintah perlu membuat Live Road Map untuk kebijakan energi'. Ujarnya.

 

Langkah jangka pendek yang dapat ditempuh yaitu penyelesaian beban APBN, penggunaan smart card bagi kendaraan bermotor di darat dan laut. Jangka menengah berupa optimalisasi sumberdaya energi alternatif non minyak bumi seperti  batubara dan gas alam. Sementara dalam jangka panjang dengan pengembangan energi terbarukan berbasis pertanian seperti biomassa.

 

Prof. Dr. Ir. Syamsir Abduh dari  Universitas Trisakti menyampaikan, kebijakan ekspor migas dan liberalisasi perdagangan merupakan faktor utama penyebab berkurangnya pasokan minyak dan gas dalam negeri. Sekitar 90 persen produksi gas dan 70 persen produksi batubara Indonesia diorientasikan untuk kepentingan ekspor dengan dalih memaksimumkan ekspor yang akan memberikan kelimpahan keuntungan.

 

"Penerimaan negara disektor energi dan sumberdaya mineral tahun 2006 mencapai Rp 220,8 Triliun, meningkat 42,17 persen, dibanding tahun 2005. Ini tidak sebanding dengan penerimaan korporasi asing  pada periode yang sama, yakni sebesar Rp 370 Triliun," ujar Prof. Syamsir . Fakta ini diperparah lagi oleh konfigurasi kepemilikan pengelolaan lapangan minyak dan gas. Sebanyak  85,4 persen dikuasai perusahaan asing alias multinasional.

Hadir pula dalam kesempatan tersebut Tejo Pramono dari Federasi Sarikat Petani Indonesia, Direktur Riset dan Kajian Strategis Dr. Arif Satria, Prof. Didin S. Damanhuri, Sulaiman Hamzah dari ISAI, Daud Sinjai dari Harian Sinar Tani, dan  Sekretaris Ekskutif Dr. Aceng Hidayat(My)