IPB Tawarkan Soybean Estate System dan Galur Unggul Untuk Atasi Krisis Kedelai di Indonesia

IPB Tawarkan Soybean Estate System dan Galur Unggul Untuk Atasi Krisis Kedelai di Indonesia

Berita

 

Institut Pertanian Bogor (IPB) menawarkan tiga pendekatan solusi, sehubungan dengan krisis kedelai yang memuncak akhir-akhir ini, yaitu (1) galur unggul hasil kultivasi IPB selama 5 tahun, (2) soybean estate system dan (3) pentingnya penataan ulang tata-niaga kedelai di Indonesia. Situasi yang paling kritikal yang perlu diantisipasi agar pada tahun 2015 Indonesia madiri kedelai adalah pentingnya setiap daerah mengembangkan sentra -sentra penangkaran bibit kedelai untuk mensupply kebutuhan bibit sesuai dengan kebutuhan konsumen di daerah setempat. "Dengan cara ini, kita dapat menggunakan lahan secara efektif, memotong biaya transportasi dan distribusi, mengoptimalkan sumberdaya untuk mendukung agribisnis kedelai, serta menstabilkan harga", jelas Rektor IPB, Dr. Ir. H. Herry Suhardiyanto, MSc.

Galur Unggul

Lebih lanjut Herry menjelaskan bahwa sejak dilahirkan. IPB senantiasa memegang komitment terhadap pertanian, termasuk melakukan kajian terhadap komuditas yang menjadi indikator ketahanan pangan. Contohnya, pada saat ini Peneliti Pusat Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Dr.Sony Suharsono serta Dr.M Yusuf telah menyiapkan 18 galur kedelai yang memiliki keunggulan yang dapat menjadi primadona di kawasan tropis. Kedelai ini berpenampilan elok, dengan butir yang lebih besar, warna lebih kuning cerah, lebih tahan terhadap cekaman alumunium dan suasana tanah yang asam, serta tahan terhadap naungan. "Dalam satu hektar dihasilkan 2,4 ton, dibandingkan dengan kedelai wilis yang hanya mencapai 1,2 ton.Dalam kesempatan ini, IPB siap memberikan bibit galur unggul ini kepada setiap daerah yang memiliki kepedulian terhadap krisis kedelai. "

Peneliti Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, Dr Munif juga menawarkan inovasi budidaya kedelai metoda jenuh air. Kedelai ditanam pada genangan air jenuh diakhir musim penghujan. Genangan air tersebut mendorong akar kedelai menyebar luas dan membantu penyuburan tanah. Seiring dengan musim kemarau, air genangan tadi menyusut dan kedelai menghasilkan malai kedelai yang banyak.

Soybean Estate System (SES)

Soybean estate system reformasi pengelolaan produksi kedelai baik kelembagaan, sosial maupun teknologi yang mengarahkan suatu unit produksi padi menjadi unit bisnis profesional yang dijalankan oleh komunitas petani itu sendiri. Konsep soybean estate system memiliki karakteristik yang spesifik yang sesuai dengan sumberdaya lokal. Pemerintah daerah dan pihak yang terkait salah satunya Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia memetakan kebutuhan konsumsi kedelai di masing-masing daerah. Selanjutnya membudidayakan bersama sesuai kebutuhan berdasarkan konsep SES. Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia disini tidak hanya berperan mendistribusikan kedelai namun juga dioptimalkan untuk penyediaan bibit serta intensif untuk memproduksi kedelai.

Menurut Herry, rekayasa sosial yang ditawarkan SES lebih baik dibanding budidaya kedelai perseorangan, sebab SES merupakan pengelolaan agribisnis kedelai terpadu secara efisien sebagai suatu unit ekonomi. Hal ini diwujudkan dalam bentuk konsolidasi manajemen area (bukan konsolidasi lahan) dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) bukan sekedar Kelompok Tani (Kelotan). Dengan menerapkan SES menyebabkan pengelolaan sarana produksi dan alsintan akan lebih efisien, pengelolaan irigasi lebih baik dan pengendalian hama terpadu menjadi lebih efektif.
Posisi tawar petani dalam SES ini jauh lebih baik karena adanya pengawalan dan pendampingan dari perguruan tinggi pertanian seluruh Indonesia. Sarjana pertanian berfungsi sebagai manajer farm. Manajer ini mendapat pendampingan oleh perguruan tinggi pertanian, Balai Penelitian dan Teknologi Pertanian (BPTP), dunia bisnis pertanian, pemerintah daerah dan penyuluh. "Model rekayasa yang telah dikembangkan IPB selama ini antara lain program pendampingan kuliah kerja profesi, sarjana masuk desa, pendampingan transmigran, pendampingan petani untuk irigasi, dan produksi beras berlabel," jelas Herry .

Tentu konsep ini sangat mungkin tak sepi kendala, terutama ketika berhadapan dengan sikap petani di dalam menerima sebuah pendekatan baru. Sekadar contoh, kondisi kepemilikan lahan petani kita yang rata-rata sempit (di bawah 0,5 hektar). Sementara dengan sistem SES akan efisien ketika dilakukan dalam satu hamparan tersier ( bisa mencapai 150-200 hektar), maka perlu pendekatan yang tepat untuk menginformasikan kepada petani bahwa dalam SES yang dilakukan bukanlah konsolidasi lahan, melainkan konsolidasi manajemen. Sehingga tidak akan menggusur kepemilikan lahan petani.

Sungguh menarik ketika SES ini bisa di-scale up secara nasional. "Berhasil tidaknya penerapan SES sangat tergantung pada political will pemerintah, khususnya Departemen Pertanian, serta memerlukan dukungan semua pihak" tandas Herry.

Keseluruhan hal di atas membutuhkan kerjasama para pihak, terutama Pemerintah (Pusat dan Daerah), Perguruan Tinggi (IPB), BUMN (terutama PTPN) atau Swasta, serta petani. IPB yang memiliki dana penelitian sangat terbatas, namun mempunyai peneliti-peneliti yang kuat dalam perkedelean, perlu dibantu terutama oleh Pemerintah Pusat untuk mengembangkan galur-galur kedelenya sehingga bisa menjadi varitas unggul yang siap disebarkan di masyarakat. Pemda dapat berkontribusi dalam penyediaan areal dan bantuan dana penelitian kepada IPB untuk mengembangkan galur kedele sehingga dihasilkan varitas unggul kedele yang cocok dengan daerahnya. Varitas yang saat ini sudah ada, dapat ditanam di berbagai areal PT. Perkebunan Nusantara dan Hutan Tanaman Industri (HTI) secara tumpang sari memanfaatkan dana CSR (corporate social responsibility) atau PKBL (program kemitraan dan bina lingkungan), yang mengikutkan IPB dan para petani.

Terkait tata niaga kedelai, Herry menekankan arti pentingnya revitalisasi Badan Urusan Logistik (BULOG) dibidang perkedelaian. "BULOG hendaknya terlibat juga dalam tata niaga kedelai untuk menjaga agar harganya stabil," ujar Herry.

Herry mengharapkan pemerintah tidak gegabah dalam menurunkan bea impor masuk kedelai hingga 0 persen. Penurunan bea impor kedelai ini malah makin menimbulkan ketergantungan dan merugikan produksi lokal. Sebaliknya, menurut Herry, pemerintah bisa saja mengambil kebijakan menaikan tarif impor kedelai hingga 20 persen, yang selanjutnya dibarengi program menuju kemandirian kedelai.

"Hendaknya kita juga memfikirkan jangka panjang, bukan hanya jangka pendek terpenuhinya kebutuhan kedelai. Sebelum tahun 2015 yakni kesepakatan pelaksanaan pasar bebas, Indonesia masih ada waktu untuk mempersiapkan diri dengan memproduksi komoditi pokok- termasuk kedelai- secara sendiri dan mandiri," kata Herry. Indonesia bisa mengoptimalkan komiditi pertanian dari vareitas lokal yang ada . (rpl/ris)